![]() |
Oleh. Suhardi, SH *) |
MASUKNYA Lalu Anis Mudjahid Akbar ke dalam 10 besar calon Komisaris Independen Bank NTB Syariah telah memicu perdebatan sengit tentang meritokrasi versus politik akomodatif. Yang menarik, kontroversi ini muncul bahkan sebelum Anis benar-benar diangkat sebagai komisaris, ia baru saja lolos tahap awal seleksi.
Kritik keras datang dari berbagai pihak, termasuk dari anggota DPRD NTB, karena Anis merupakan mantan Ketua Tim Pemenangan (Timses) Gubernur Lalu Muhammad Iqbal.
Fenomena "protes dini" ini sebenarnya mencerminkan sensitivitas publik terhadap praktik nepotisme yang kerap terjadi di berbagai institusi.
Namun, dengan menggunakan perspektif teori disiplin Michel Foucault, kita dapat memahami bahwa proses seleksi ini sebenarnya mencerminkan cara kerja kekuasaan modern yang lebih kompleks dari sekadar nepotisme.
Reaksi berlebihan terhadap kelulusan Anis ke 10 besar justru menunjukkan bahwa sistem pengawasan publik sedang bekerja, sebuah mekanisme yang akan dijelaskan Foucault sebagai bagian dari panopticism modern.
Foucault dalam Discipline and Punish (1975) menjelaskan bahwa kekuasaan modern tidak lagi bergantung pada kekerasan, melainkan pada sistem pengawasan, normalisasi, dan klasifikasi yang sistematis.
Dalam konteks pengangkatan Anis, hal ini terlihat jelas dalam proses seleksi yang menggunakan kriteria ketat seperti sertifikat manajemen risiko, pengalaman perbankan, dan kemampuan kepemimpinan.
Sistem Seleksi sebagai Mekanisme Disiplin Modern
Menurut Foucault, kekuasaan modern bekerja melalui institusi dengan menciptakan sistem disiplin yang mengklasifikasikan individu berdasarkan standar tertentu. Proses seleksi Komisaris Independen Bank NTB Syariah adalah contoh nyata mekanisme ini.
Kriteria seleksi bukanlah ukuran netral, melainkan cerminan dari nilai-nilai yang dianggap penting oleh institusi. Anis, dengan rekam jejaknya sebagai komisaris di dua perusahaan dan manajer di Newmont, jelas memenuhi standar yang ditetapkan untuk masuk 10 besar.
Namun yang menarik adalah bagaimana publik bereaksi terhadap kelulusannya di tahap awal ini. Proses yang dilalui panitia seleksi (pansel) merupakan apa yang Foucault sebut sebagai examination, yakni ujian yang menggabungkan pengawasan dan penilaian. Anis tidak hanya lolos seleksi, tetapi juga "diciptakan" sebagai subjek yang telah dinormalisasi ke dalam sistem, meskipun ia belum benar-benar menjadi komisaris.
Reaksi yang beragam terhadap kelulusan Anis ke 10 besar sebenarnya menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan publik sedang berfungsi dengan baik. Foucault akan melihat ini sebagai bukti bahwa kekuasaan tidak lagi bersifat absolut dimana setiap langkahnya diawasi dan dipertanyakan.
Paradoksnya, kritik yang muncul justru memperkuat legitimasi proses jika Anis akhirnya benar-benar terpilih, karena seleksi telah melalui pengawasan publik yang ketat.
Transparansi proses seleksi, sebagaimana ditegaskan Gubernur Iqbal, memperkuat legitimasi keputusan ini. Foucault menyebut ini sebagai panopticism, mekanisme pengawasan ganda di mana pansel mengawasi kandidat, dan publik mengawasi pansel.
Hasilnya adalah keputusan yang tampak sah karena telah melalui proses yang "dapat dilihat" semua pihak.
Dari Timses ke Komisaris: Produktivitas Kekuasaan
Kritik anggota DPRD NTB yang menyebut pencalonan Anis ini sebagai politik akomodatif dapat dibaca ulang melalui lensa Foucault. Kedekatan Anis dengan Gubernur Iqbal bukanlah anomali, melainkan bagian alami dari cara kekuasaan beroperasi.
Kekuasaan selalu relasional, dan dalam sistem disiplin, individu yang dipilih sering kali adalah mereka yang telah terhubung dengan jaringan kekuasaan yang ada.
Yang membedakan kasus ini dari nepotisme klasik adalah bahwa Anis tidak hanya "dekat" dengan kekuasaan, tetapi juga telah membuktikan dirinya melalui standar disiplin yang ketat untuk masuk 10 besar. Foucault menyebut ini sebagai proses subjektivasi, pembentukan subjek melalui disiplin.
Meski belum menjadi komisaris, Anis telah melalui ujian kompetensi, pengawasan profesional, dan normalisasi institusional tahap awal.
Keriuhan yang muncul sejak tahap 10 besar ini justru menunjukkan kematangan demokrasi. Publik tidak lagi menunggu hingga seseorang benar-benar diangkat untuk kemudian mengkritik, mereka melakukan pengawasan preventif.
Foucault akan melihat ini sebagai evolusi sistem panopticon: pengawasan tidak hanya datang dari atas (institusi kepada individu), tetapi juga dari samping (publik kepada proses seleksi). Salah satu poin sentral teori Foucault adalah bahwa kekuasaan modern tidak hanya menekan, tetapi juga menghasilkan.
Menghasilkan pengetahuan, kebenaran, dan individu yang fungsional. Pengangkatan Anis menunjukkan produktivitas kekuasaan ini: proses seleksi transparan menghasilkan "kebenaran" tentang kompetensinya berdasarkan standar yang telah disepakati.
Pengalaman Anis sebagai komisaris dan manajer di perusahaan ternama menunjukkan bahwa ia telah lama berada dalam lingkaran disiplin profesional.
Ia bukan produk kebetulan atau favoritisme, melainkan hasil proses yang telah "mengukir" dirinya menjadi kandidat yang layak masuk 10 besar. Faktanya, jika Anis tidak memiliki kualifikasi memadai, ia tidak akan lolos tahap awal yang kompetitif ini.
Kontroversi yang muncul bahkan sebelum pengangkatan final menunjukkan bahwa publik NTB memiliki ekspektasi tinggi terhadap transparansi dan akuntabilitas. Ini sebenarnya positif, menandakan bahwa kultur pengawasan publik semakin menguat.
Bahwa pengawasan tidak lagi monopoli penguasa, tetapi menjadi hak dan kewajiban warga negara. Dengan perspektif disiplin Michel Foucault, kelulusan Lalu Anis Mudjahid Akbar ke 10 besar calon Komisaris Independen Bank NTB Syariah bukanlah sekadar drama politik, tetapi manifestasi kekuasaan modern yang bekerja melalui klasifikasi, normalisasi, dan pengawasan berlapis.
Proses seleksi yang transparan dengan kriteria ketat, ditambah scrutiny publik yang intensif, menunjukkan bahwa sistem disiplin tidak hanya sah tetapi juga produktif.
Reaksi publik yang muncul bahkan sebelum pengangkatan final justru memperkuat legitimasi proses demokratis. Jika Anis akhirnya terpilih sebagai komisaris, keputusan tersebut akan memiliki kredibilitas tinggi karena telah melalui pengawasan berlapis baik dari pansel maupun publik.
Sebaliknya, jika ia tidak terpilih, hal itu juga akan menunjukkan bahwa sistem bekerja responsif terhadap aspirasi masyarakat.
Publik NTB harus terus mengawal ketat proses ini, bukan hanya untuk memastikan Anis kompeten, tetapi juga memastikan bahwa sistem seleksi ke depan tidak menjadi alat politik yang berselubung meritokrasi.
Sebab, seperti kata Foucault: "Kekuasaan tidak menindas; ia menghasilkan kebenaran." Dan kebenaran itu bisa saja diciptakan oleh mereka yang berkuasa.
*) Penulis adalah Advokat Platonic Law Firm