![]() |
Oleh. DA Malik*) |
BELAKANGAN ini, di beberapa grup WhatsApp (WA) ramai diperbincangkan mengenai istilah “pekatik”. Penyematan “pekatik” ditujukan kepada individu yang aktif memberikan informasi dan dukungan terhadap rencana program maupun aksi yang dilaksanakan oleh pemerintah.
A. Pekatik Dan Mantan Pekatik
Nah, ecara harfiah istilah “pekatik” diartikan sebagai seorang penuntun atau pemelihara kuda, akan tetapi dalam ruang ruang percakapan grup WhatsApp (per-WA-an), istilah pekatik telah digeser untuk menyebut individu yang loyal dan aktif dalam melakukan klarifikasi maupun menyampaikan pemberitaan terkait dengan pelaksanaan program pemerintah.
Sebaliknya, individu yang bersikap kontra terhadap kebijakan pemerintah terpilih, kerap memposisikan dirinya sebagai oposan atau penyeimbang yang memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Salah satu alasan di balik penyebutan dirinya sebagai oposan, dikarenakan calon yang mereka dukung dalam proses Pilkada sebelumnya tidak terpilih sehingga tetap mengambil posisi sebagai pengkritik atau oposisi.
Penyematan diri sebagai “oposisi” bagi individu yang bersikap kontra tersebut sesungguhnya kurang tepat, karena dalam literatur demokrasi, istilah “oposisi” merujuk pada entitas formal, seperti partai politik yang secara terbuka tidak mendukung pemerintah yang sedang berkuasa.
Sehingga untuk menghindari agar tidak terjadinya penyimpangan arti oposisi dalam literasi demokrasi, maka bagi individu yang sebelumnya mendukung pemerintah namun kemudian aktif sebagaik pengkritik kebijakan pemerintah terpilih, lebih tepat disebut sebagai “Mantan Pekatik”.
B. Komunikasi Politik Mantan Pekatik di Ruang Publik
Fenomena narasi kritik bernada intrik yang dilontarkan Mantan Pekatik di ruang digital, sesungguhnya bukan muncul saat berjalannya pemerintahan terpilih. Embrio kritik bernada intrik ini, tumbuh jauh jauh sedari awal. Kemunculannya bahkan sejak sebelum dimulainya tahap proses pemilihan. Terlebih pasca dukung mendukung sampai pada tahapan pemungutan dan perhitungan suara.
Walaupun kritik bernada intrik ini sempat jeda pasca penetapan calon terpilih. Namun nada kritiknya muncul kembali dengan narasi-narasi yang berbeda, yang cenderung dipersepsikan sebagai mantan pekatik yang belum move on atas tidak terpilihnya calon yang diusung.
Akibatnya, segala kebijakan dan tindakan pemerintah terpilih, dilihat dari optik sinis dan pesimis. Singkatnya, setiap langkah pemerintah terpilih, dipersepsikan negatif, kendati telah dilakukan klarifikasi obyektif oleh pekatik.
Bagi “mantan pekatik”, klarifikasi-klarifikasi obyektif semacam itu, dipersepsikan sebagai pencitraan publik. Bahkan sebagus apapun narasi- visi-misi, program, bahkan tindakan tata kelola pemerintahan yang disampaikan dalam publik digital, oleh ”Mantan Pekatik” selalu diberikan penilaian yang bersifat subyektifitas dan bahkan jauh dari nalar sistem yang obyektif.
Fenomena ini, mengingatkan kita tentang ”cebong vs kampret” menjelang pilpres tahun 2019 lalu. Di mana nampak dua kutub pandangan ekstrem yang mengaburkan obyektifitas dan rasionalitas komunikasi di ruang publik.
Ironisnya lagi ketika “pekatik” mencoba menjelaskan kebijakan pemerintah secara obyektif, respons yang muncul dari “Mantan Pekatik” adalah penuh sinis, intrik dan menyerang personal dengan narasi-narasi yang tidak sesuai dengan standar valitas etis komunikasi.
Sebaliknya, jika pemerintahan kini, dibandingkan dengan pemerintahan pendukung sang “mantan pekatik”, tidak segan pula para “mantan pekatik” melakukan pembelaan terhadap mantan tuannya. Kendati keriuhan penyematan pekatik vs mantan tidak seriuh ”cebong vs kampret”, bahkan nyaris tidak terdengar di dunia nyata, hal menandakan bahwa istilah penyematan pekatik dan mantan pekatik hanya riuh diruang grop per-we-aan.
Namun secara esensial, menunjukkan betapa ruang digital menjadi arena penting dalam sarana dialog (komunikasi) di ruang publik (per-we-aan). Layaknya ruang publik vis a vis (perjumpaan) dari berbagai entitas dengan ragam tema perbincangan.
C. Kesadaran Tindakan Komunikatif di Ruang Publik
Salah satu konsepsi tentang kesadaran ialah the Consciousness otonom (Kesadaran diri asli) yang mengandung esensi kedalaman diri manusia (Husni Muadz, 2016). Tindakan komunikatif yang bersifat the Consciousness otonom tidak saja melahirkan kebenaran ilmiah maupun keberterimaan, juga akan melahirkan kebenaran etis dan moral (Mortimer J Adler, 1981).
Komunikasi semacam ini, sesungguhnya tidak saja dapat dilakukan dalam arena vis a vis (perjumpaan), melainkan juga dapat dilakukan di ruang publik digital. Walau tidak dipungkuri, komunikasi di ruang publik digital dapat dijadikan sarana penyampaian opini dan perbincangkan berbagai hal.
Bahkan, secara kultural, ruang publik diartikan sebagai arena manusia untuk bercerita, mengungkapkan perasaanya maupun berbagai aktivitas yang dilakukannya, akan tetapi kebebasan dalam menelurkan opini dengan narasi subyektif bernada intrik, tidaklah mencerminkan tindakan komunikatif yang bersifat the Consciousness otonom.
Komunikasi diruang publik idealnya bertujuan untuk mencapai pemahaman bersama. Wujud dari tindakan komunikatif yang bersifat the Consciousness otonom tercermin dari bentuk diskursus rasional di antara orang-orang yang terlibat di dalamnya. (Habermas, 1984).
Dalam pandangan Habermas, tindakan komunikatif harus memenuhi klaim validitas kejelasan (understandability), kebenaran (truth), kejujuran (truthfulness), dan ketepatan (rightness). Tanpa keempat elemen ini, komunikasi di ruang publik akan gagal mencapai tujuan yang bermakna.
Klaim validitas Jurgan Habermas pada konteks tindakan komunikasi disadari seringkali diabaikan dan bahkan tergantikan oleh motif dan kepentingan terselubung untuk mencapai popularitas semu dan bahkan citra semu melalui narasi-narasi yang dimanipulatif. (Franz Magnis-Suseno 1984).
Secara konseptual, Habermas membagi dalam tiga ranah komunikasi pada ruang publik yakni pertama sebagai arena untuk berkomunikasi, kedua arena peran bagi dalam mewujudkan demokrasi dan ketiga sebagai sarana atau alat dalam menyampaikan aspirasi. (Wasisto Raharjo Jati, 2018). Baginya, relasi intersubyektif pada tindakan komunikatif menjadi landasan untuk menjalin relasi satu sama lain.
Masyarakat dikelola melalui tindakan rasional yang mengarahkan mereka pada suatu kesepahaman atau kesepakatan bersama. Tindakan komunikatif bekerja melalui bahasa dalam perannya yang komunikatif, yaitu bahasa yang memungkinkan orang dapat saling mengerti dan memahami serta saling berterima tanpa syarat.
Klaim-klaim validitas di atas, menjadi semacam syarat normatif yang perlu dipatuhi oleh para peserta diskusi. Tanpa memenuhi klaim validitas itu, suatu komunikasi untuk menghasilkan kesepahaman bersama tidak dicapai.
Suatu komunikasi dapat tercapai dengan mensyaratkan adanya relasi di antara setiap partisipan yang bebas dan setara, saling menghargai, tulus atau jujur, tidak manipulatif, tanpa paksaan, dan sebagainya. Konsensus dinyatakan sah apabila dilakukan dalam situasi percakapan ideal serta memenuhi klaim-klaim validitas dalam komunikasi tersebut.
Berbeda halnya dengan “Mantan Pekatik”, perdebatan diruang grop per-we-aan, tentang tindakan pemerintah terpilih, kerap menjadi diskursus yang tidak rasional penuh bias, sinisme tanpa dilandasi dengan “kesadaran tindakan komunikasi”.
Sehingga ruang komunikasi di ruang publik (grop per-we-aan) semacam itu, nampak sebagai komunikasi yang jauh dari aspek pencarian kebenaran yang bersifat subtansi atas apa diperbincangkan.
Melainkan, komunikasi yang diliputi oleh dendam politik dan subyektivitas emosional yang belum move on. Komunikasi seperti ini tidak dapat dikatagorikan sebagai tindakan komunikatif sebagaimana dikemukakan oleh Habermas, melainkan komunikasi yang bernada sinis dan intrik yang bersifat subyektif.
Jika komunikasi di ruang publik terdapat kesadaran tindakan komunikasi, maka ruang publik digital yang dilakukan oleh mantan pekatik, harus pula mengandung kesadaran tindakan komunikasi.
Sebab kesadaran tindakan komunikasi yang bersandar pada sifat-sifat the Consciousness otonom yang setidaknya tercermin dalam validitas kejelasan (understandability), kebenaran (truth), kejujuran (truthfulness), dan ketepatan (rightness) komunikasi, maka setidaknya ruang komunikasi publik akan menciptakan keutuhan (unity) dari esensi komunikasi.
Sebaliknya, jika standarisasi komunikasi ini ditanggalkan, nampak jika opini, narasi dan bangunan pola komunikasi yang demikian menjadi sebuah ujaran-ujaran yang bersifat kebencian bahkan menjadi komunikasi yang bersifat ”Cloud Chasing”, atau perilaku yang mencari popularitas lewat pengakuan secara berlebihan yang tak esensial.
Sehingga kebenaran moral dari tindakan komunikasi bergeser untuk sekedar mendapatkan like, follower, atau validitas instan lainnya. Pada gilirannya, nilai-nilai esensial yang mendasari hidup adab seperti empati, kejujuran, hingga penghormatan tergantikan menjadi pencitraan semu yang melahirkan kedangkalan budaya. (Kompas, 2025).
D. Catatan Reflektif
Pengembangan literasi digital dalam ruang komunikasi publik, tidak saja dititik tekankan pada kecakapan teknis, melainkan juga pada aspek kesadaran tindakan komunikasi. Tidak dipungkiri, kritik oto kritik terhadap pemerintah, merupakan tindakan yang sah di mata hukum dan masyarakat.
Tentunya dengan pola dan cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, komunikasi di ruang publik digital, harus dikelola atas bangunan kesadaran dalam ruang quadran pembelajaran. Sebaliknya, bukan hanya untuk menyalurkan emosi politik, yang jauh dari kesan produktif, bermakna dan membawa nilai kebaikan bersama bagi kehidupan proses perbaikan tata kelola pemerintahan bagi yang terpilih.
*Penulis adalah Pembina Yayasan Platonic