Belum Rincikan Besaran Anggaran Pilkada Serentak 2024, KPU Tunggu Keseriusan Pemprov dan Pemda NTB Soal Cost Sharing -->

Belum Rincikan Besaran Anggaran Pilkada Serentak 2024, KPU Tunggu Keseriusan Pemprov dan Pemda NTB Soal Cost Sharing

Senin, 24 Juli 2023, Senin, Juli 24, 2023

FOTO. Suasana rakor KPU NTB bersama 10 KPU Kabupaten/Kota di kantor KPU setempat. 















MATARAM, BL - Pemprov NTB dan 10 Pemda Kabupaten/Kota terancam mendapatkan sanksi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) karena sampai saat ini


Langkah Pemprov NTB bersama 10 Pemda di NTB yang belum menyiapkan anggaran untuk menyukseskan pelaksanaan Pilkada Serentak 2024, nampaknya bakal menyulitkan pihak KPU setempat.


Untuk itu, pemerintah pusat melalui Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) bakal menyiapkan sanksi pada Pemprov dan 10 Pemda di 10 kabupaten/kota, lantaran dianggap melalaikan kewajibannya tersebut. 


Sebab, sesuai kewajiban pada tahun 2024, akan  akan digelar pemilihan gubernur (Pilgub) NTB dan Pilkada Bupati/Wali Kota di 10 kabupaten/kota.


Sekretaris KPU Provinsi NTB, Asep Sulhan, membenarkan ancaman sanksi pada Pemprov NTB dan 10 Pemda tersebut. Hal itu menyusul, ia sudah melakukan diskusi dengan pejabat Kemendagri terkait hingga kini belum ada kejelasan alokasi besaran anggaran Pilkada serentak 2024 tersebut. 


"Jadi, Provinsi NTB, termasuk daerah yang cukup terlambat menetapkan alokasi anggaran untuk Pilkada serentak 2024 dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia.  Saya sudah diskusi dengan para Pejabat Kemendagri, di situ kita ini akan siap-siap memperoleh sanksi atas keterlambatan belum menyepakati besaran alokasi anggaran Pilkada Serentak yang menjadi kewajiban daerah," jelas Asep pada wartawan, Sabtu (22/7) kemarin.


Ia mengungkapkan bahwa, pembahasan anggaran Pilkada serentak 2024 di NTB, termasuk sudah cukup terlambat dibandingkan provinsi lainnya. 


Alasannya, pembahasan mengenai perencanaan anggaran Pilkada seharusnya sudah clear pada tahun lalu. Sehingga, KPU dan Bawaslu mendorong Pemprov NTB segera menetapkan keputusan Gubernur NTB mengenai cost sharing anggaran Pilkada 2024 dengan Pemda kabupaten/kota.


"Adanya cost sharing itu menggambarkan efisiensi. Kalau cost sharing ini sampai sekarang belum ditetapkan, bagaimana 10 kabupaten/kota di NTB mengkalkulasikan berapa porsi yang menjadi beban APBD masing-masing kabupaten/kota. Ini yang sampai sekarang masih belum clear. Ya, kami (KPU NTB) hanya bisa menunggu dan mengingatkan saja sifatnya," kata Asep.


Ia menjelaskan bahwa, KPU masih bertahan terkait dengan besaran biaya untuk honorarium petugas adhoc di angka 100 persen. Karena itu sudah merujuk pada Standar Biaya Masukan Lainnya (SBML) yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.


Di mana, besaran honorarium untuk petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Mulai, ketua dan anggota sudah jelas dalam aturan tersebut. 


"Dalam pembahasan dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pemprov NTB. Kami (KPU NTB) bertahan di angka itu. Tapi jujur sampai saat ini, belum putus atau enggak ada kejelasan mengenai cost sharing itu," tegas Asep. 


Terkait kondisi keuangan daerah yang sedang sulit baik provinsi dan kabupaten/kota. Dijelaskan Asep, pihaknya menyadari hal itu.


Namun selaku penyelenggara pemilu, tentunya pemerintah daerah sudah memahami bahwa kewajiban anggaran Pilkada adalah berada pada kewenangan daerah sesuai yang digariskan dalam UU. 


"KPU hanya sebagai penyelenggara. Istilahnya no money no pilkada. Jadi, semuanya itu kembali ke itikad baik pemerintah daerah," ucap Asep lantang. 


Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa kebutuhan anggaran untuk Pilgub NTB 2024 sekitar Rp180 miliar. Awalnya, KPU NTB mengajukan anggaran Pilkada serentak sebesar Rp377 miliar dengan asumsi seluruh pembiayaan dicover provinsi.


Kemudian ada komponen yang dikoreksi salah satunya masih menghitung pilkada dalam kondisi pandemi Covid-19. Dimana, ada anggaran untuk pelaksanaan Pilkada dengan protokol kesehatan dan pengadaan alat pelindung diri.


Setelah biaya tersebut dikeluarkan, anggaran Pilkada terkoreksi menjadi Rp250 miliar.  Sayangnya, anggaran sebesar itu masih belum ada cost sharing antara Pemprov NTB dan Pemda kabupaten/kota.


"Kemudian kita asumsikan ada cost sharing menjadi Rp180 miliar porsi provinsi, sisanya kabupaten/kota. Ini yang masih tarik ulur," ungkap Asep.


Ia menegaskan, berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016, apabila pemungutan suara pilkada serentak pada 27 November 2024, maka tahapan Pilkada mulai Januari 2024. 


Karena itu, Naskah Penandatanganan Hibah Daerah (NPHD) anggaran Pilkada harus sudah ditandatangani paling lambat satu bulan sebelum dimulainya tahapan pilkada.


Kemudian setelah ditandatangani NPHD, paling lambat 14 hari harus sudah ditransfer ke rekening penampung hibah atau kas KPU. 


"Sekarang kalau mau main aman, paling tidak setahun atau 27 November ini paling tidak NPHD sudah ditandatangani. Kemudian juga ada surat edaran Mendagri bahwa komposisi anggaran yang sudah ditransfer 40 persen tahun 2023, sedangkan 60 persen di 2024," beber Asep. 


Ia mengatakan hibah untuk pelaksanaan Pilkada berbeda dengan hibah lainnya. Bahwa pengelolaan anggaran Pilkada begitu sudah masuk ke dalam mekanisme APBD, tidak lagi di akhir tahun harus mengembalikan atau menyetorkan lagi ke kas daerah. Tetapi bisa digunakan tahun anggaran berikutnya. Kemudian, kalau hibah lain tidak ada pengembalian kalau ada sisa.


"Kalau ini memang dikalkulasikan secara detil, apabila 3 bulan setelah penetapan calon terpilih, masih ada sisa anggaran maka dikembalikan ke kas daerah. Artinya, sangat tidak relevan kalau memang ada kekhawatiran berlebihan terkait kebutuhan anggaran yang seolah-olah tidak efektif dan efisien," tandas Asep Sulhan. (R/L..).

TerPopuler