Bukan (Mantra) Meritokrasi : Sebuah Harapan Tentang Tata Kelola Birokrasi -->

Bukan (Mantra) Meritokrasi : Sebuah Harapan Tentang Tata Kelola Birokrasi

Rabu, 14 Mei 2025, Rabu, Mei 14, 2025


Oleh : D. A. MALIK *)

















SALAH satu gagasan yang ditawarkan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam pengelolaan birokrasi adalah dengan cara menempatkan pejabatnya berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, tanpa membedakan latar belakang politik, ras, agama, atau lainnya. Dengan tujuan untuk menciptakan sistem yang adil dan transparan dalam pengelolaan sumber daya manusia di lingkup  pemerintahan.

Konsepsi mengenai penempatan birokrasi berdasarkan aspek di atas, kerap dikenal sebagai meritokrasi, yang secara harfiah berasal dari kata merit atau manfaat.

Meritokrasi juga disinonimkan dengan  suatu sistem politik yang memberikan pengharagaan kepada Aparat Sipil Negara (ASN) yang memiliki kemampuan, prestasi dan dedikasi dalam kinerja pemerintahan.
Istilah meritokrasi, untuk peratama kali digunakan oleh Young pada tahun 1958 dalam bukunya  rise of the meritocracy, yang  diartikan sebagai suatu pandangan atau memberikan peluang kepada orang untuk maju berdasarkan  kelayakan atau kecakapannya. 

Kendati hal ini baru diperkenalkan oleh Young, dalam lintas sejarahnya, Meritokrasi sesungguhnya telah diterapkan pada dinasti Dinasti Qin dan Han di Cina melalui proses pendidikan dan pelatihan, diikuti dengan ujian dan seleksi bagi para calon pejabat. Hal yang serupa juga telah diterapkan pada Dinasti Utsmani guna menjaga stabilitas negara. (Kompas.id., 2025). 

Di dalam beberapa study, Meritokrasi dimaknai sebagai kondisi untuk  menghadirkan kesempatan yang sama kepada semua individu. Kesempatan yang sama dilatar belakangi oleh komptensi dan komitmen etik dan prilaku yang dimiliki oleh individu dalam menduduki suatu jabatan publik. Meritokrasi juga menekankan pada kemampuan seseorang untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu, tanpa memandang latar belakang etnik, koneksi, atau status sosial (Samosir, 2022).

Menurut Widodo (2005), Meritokrasi atau merit system merupakan suatu sistem penarikan atau promosi pegawai yang tidak didasarkan pada hubungan kekerabatan, patrimonial (anak, keponakan, famili, alumni, daerah, golongan, dan lain-lain), melainkan didasarkan pada pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan. 

Dengan menggunakan merit system membuat orang-orang yang terlibat dalam kegiatan usaha kerjasama menjadi cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Sementara bagi Hasibuan (2003), merit system merupakan suatu bentuk pembinaan jabatan yang didasarkan atas landasan yang bersifat ilmiah, objektif dan hasil prestasi kerja.


Dari pandangan tentang meritokrasi di atas, keadilan meritokrasi dapat juga difahami sebagaimana dikemukakan oleh filsuf Aristoteles bahwa memberikan perlakuan yang sama kepada orang yang sama dalam hal hak dan kewajiban, serta memberikan perlakuan berbeda kepada orang yang berbeda sesuai dengan kedudukan dan jasa masing-masing. 

Atau dengan kata lain, prinsip dasar meritokrasi adalah memberikan peluang yang sama bagi para pejabat dalam mengisi pos-pos jabatan pada lingkup pemerintahan. 

Sama halnya sperti dinasti Dinasti Qin dan Han di Cina atau Dinasti Utsmani (Kesultanan Utsmaniyah atau Kekaisaran Ottoman) di Turki, di Indonesia, merit system  ini juga pernah diterapkan oleh beberapa perdana menteri, seperti Sutan Sjahrir dan Agus Salim. 

Pada masa dinas Sutan Sjahrir (1945-1947) dan Agus Salim (1947-1949), sistem meritokrasi diterapkan guna memilih menteri-menteri yang mumpuni di bidangnya. Mereka menerapkan sistem seleksi yang berbasis pada kemampuan dan prestasi (Rabbani, 2022).

Demikian halnya dengan Singapura, dalam lintas sejarahnya, telah menyadari bahwa perubahan lingkungan atau reformasi yang terjadi di negara tersebut telah menuntut agar tata kelola birokrasi dilangsungkan secara  profesional. 

Keberhasilan Singapura dalam mengelola birokrasi, di fokuskan pada aspek perubahan mental  Pegawai Negeri Sipil dengan membuat mereka lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat dan memastikan penyelenggaran pemerintahan dapat berjalan secara efektif dan efisien. 

Selain itu pemerintah Singapura menyadari perlunya mengubah sikap pegawai negeri sipil dan meyakinkan mereka untuk berpartisipasi dalam proses mencapai tujuan pembangunan nasional (Quah, 2013).

Kepekaan sosial  (social sensitivity) dan perubahan mental model birokrasi, telah menjadikan singapure sebagai pemeritahan yang sukses dalam menjalankan model pemerintahan dynamics governance (DG). Model pemerintahan DG membahas mengenai kompleksitas dan tantangan yang harus dan akan dihadapi oleh pemerintahan Singapura. Menurut Neo (2015 dalam Kasim dkk, 2015) bahwa kunci keberhasilan Singapura dalam pemerintahan adalah model dinamis.

Maksudnya, dinamis dalam menghadapi perubahan terus menerus dalam lingkungan global dan keadaan dalam negeri. Pemerintahan yang dinamis ini didasarkan pada kerangka pembangunan kemampuan (dynamics capabilities) mempersiapkan masa depan (thinking ahead), kemampuan mengevaluasi praktik masa lalu, dan sekarang (thinking again), dan kemampuan berpikir melintasi domain orang lain (thinking across).

Menurut Neo dan Chen (2007) pemerintahan dinamis bercirikan birokrasi yang mampu (able) dengan memiliki kapabilitas untuk selalu berpikir antisipatif (thingking ahead), berpikir inovatif (thingking again), dan berpikir adaptif (thingking across) serta menciptakan proses kegiatan pemerintahan yang gesit (agile). Bahkan, bagi singapure, meritokrasi sebagai jati diri dan ideologi bangsa dalam menempatkan dan mempromosikan seseorang dalam jabatan sektor publik maupun jabatan politik. (Ramadhani Haryo Seno, 2022). 

Di Indonesia, guna menuju pada model pemerintahan dynamics governance (DG), secara normative sesungguhnya terdapat bingkai meritokrasi, hal ini dapat di lihat di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025,  pada prinsipnya mengamanahkan agar mempercepat tercapainya tata Kelola pemerintahan yang baik, maka diperlukan reformasi birokrasi di seluruh Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah melalui penerapan  prinsip-prinsip clean government dan good governance,  bahkan oven government. 

Pada konteks, reformasi birokrasi melalui penerapan merit sistem sebagaimana digambarkan di atas, secara normative juga telah ditegaskan  di dalam UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kuat untuk memastikan bahwa manajemen ASN dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip yang adil  yang didasarkan  pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja  dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. 

Dengan kata lain, salah satu aspek utama yang ditekankan dalam sistem penormaan regulasi tersebut adalah pentingnya profesionalisme, kompetensi, dan kinerja sebagai dasar dalam proses rekrutmen, promosi, dan pengembangan karier bagi Aparatur sipil negara dalam tata Kelola birokrasi.  

Kerangka hukum penerapan  merit system, semakin diperkuat dengan adanya berbagai peraturan turunan yang lebih spesifik. Salah satu peraturan penting adalah Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, yang mengatur pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia dalam birokrasi. 

Selain itu, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka dan Kompetitif di Lingkungan Instansi Pemerintah memberikan pedoman mengenai pengisian jabatan tinggi secara transparan dan berbasis kompetensi. Selain itu, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 40 Tahun 2018 juga turut mengatur Tentang Pedoman Sistem Merit dalam Manajemen Aparatur Sipil Negara.

Salah satu ruang lingkup di dalam sistem  penormaan dalam implementasi merit system dititiktekankan pada aspek rekrutmen, seleksi dan promosi yang didasarkan pada  kompetisi yang terbuka dan adil, serta  memberikan penghargaan atas kinerja pegawai dan sebaliknya memberikan hukuman atas pelanggaran disiplin kepegawaian dan melakukan  pengisian jabatan dengan uji kompetensi sesuai standar kompetensi jabatan yang dipersyaratkan guna melindungi pegawai dari intervensi politik dan tindakan kesewenang-wenangan. 

Dengan tujuan agar, tata  kelola pemerintahan dapat menciptakan kesejahteraan, ketertiban, keamanan, dan kebahagiaan bagi seluruh rakyatnya.

Dengan kata lain, implementasi dari penerapan meritokrasi harus benar-benar mampu melahirkan  inovasi  untuk menyelesaikannya problem birokrasi dan kerakyatan.

Mengingat  problem birokrasi begitu komplek, seperti misalanya  adanya ego sectoral masing-masing instansi dan bahkan banyak lagi isu-isu lainnya yang menyoroti problem birokrasi seperti  isu korupsi, kolusi dan nepotisme. 

Sementara  problem kerakyatan yang juga begitu komplek  seperti  isu kemiskinan, isu kesejahteraan, isu kesenjangan social, isu hukum dan HAM dan isu-isu lainnya yang berdampak langsung terhadap hajat hidup orang banyak. 

Dengan telah diterapkannya sistem meritokrasi pada proses penempatan jabatan di lingkup pemerintah Nusa Tenggara Barat,  yang menjadi pertanyaan mendasar bagi publik apakah dengan diterapkannya  sistem ini pada proses pengisian jabatan dapat mampu menyelesaikannya problem birokrasi dan kerakyatan sebagaimana disinggung di atas.  

Ragam cara pandang atas pertanyaan tersebut bahkan pernyataan  sinis dan dan sedikit tidak optimis juga turut mewarnai ruang publik, bahkan terlalu dini untuk menyatakan meritokrasi hanya sebuah ilusi. 

Perbedaan cara pandang tersebut lahir dari perspektif prosedural formal, yang menyatakan bahwa kendati dalam proses pengisian jabatan lahir dari proses seleksi terbuka dan tampak transparan.

Namun hal tersebut dapat dimanipulasi guna menguntungkan kandidat tertentu, sebab pengaruh politik, favoritisme, dan jaringan informal masih berperan dalam membentuk hasil dari proses yang sejalan dengan kepentingan mereka yang berkuasa (Chung & Zhu,Kutipan, 2021). 

Terlepas dari cara pandang yang demikian, bagi penulis,  problem birokrasi  bukanlah sekedar problem kompetisi dalam pengisian jabatan melalui kelaziman  rumus  meritokrasi yang didasari dari kemampuan kognitif (cognitive ability), usaha (effort), dan prestasi (achievement) dengan rumus (IQ+E=M).

Melainkan bahwa problem birokrasi juga adalah problem tentang esensi dari kemanusian (birokrasi) itu sendiri. Problem tentang kesadaran untuk tidak berprilaku korupsi, problem tentang ego sectoral, problem tentang kepekaan sosial (social sensitivity) dan perubahan mental model di lingkup birokrasi.

Dengan kata lain, penerapan sebuah sistem pada tata kelola pemerintahan, bukanlah sekedar berlakunya sistem penormaan dan rumus pada pola rekrutmen pengisian jabatan, melainkan lebih dari itu, yakni tentang esensi manusianya. 

Yakni bagaimana seorang birokrat yang telah menempati amanah di jabatan yang telah diberikan pimpinannya mampu membangun komponen sistem untuk keluar dari ruang ego sectoral dan bahkan mampu menyelesaikan soal-soal hajat hidup orang banyak. 

Singkatnya, seorang pejabat yang ditempatkan oleh pimpinannya, harus menyadari jika kompetensi atau kemampuan yang dimiliki,   tidak sekedar pada level pengetahuan kognitif, melainkan harus disertai  pada konteks rekognitif.

Yang menurut  Satjipto Rahardjo,  dalam gagasan hukum progresifnya bahwa tata Kelola birokrasi, merupakan kemampuan untuk mengabdi kepada manusia. Institusi birokrasi, harus  secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. 

Kualitas kesempurnaannya dapat diverifikasi sejauh mana  faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian terhadap rakyat dan lain-lain diimplementasikan pada level tata kelola birokrasi. Dan inilah hakekat  merit sistem yang selalu mengkonservasi dirinya dalam proses menjadi.  

Jika dalam proses menjadi ini abai, maka tidak heran jika nantinya hal ini  akan menjadi pemantik bagi tolak ukur dalam memberikan penilaian atas kegagalan dalam tata kelola birokrasi. 

Bahkan akan disematkan sebagai sebuah kebohongan publik. Hal ini sebagaimana gambaran oleh Widodo Dwi Putro bahwa pejabat politisi di negara manapun acap berbohong pada publik terutama menjelang pemilu yang memuat janji-janji yang tidak dapat dan mungkin dipenuhi. 

Ia tidak lagi bertanggungjawab secara moral atas informasi yang disampaikan, sebab ia bukan lagi sekedar penipu, melainkan bullshitter (Widodo Dwi Putro, 2020).

Namun, demkian, agar tidak disematkan sebagai bullshitter, penerapan merit sistem dalam tata kelola birokrasi,  janganlah  sekedar sebagai mantra, melainkan ia harus menjadi  pengetahuan kehidupan (practical knowledge) dan bahkan mental model di kalangan birokrasi yang telah diberikan amanah. 

Bagi Husni Muadz, pengetahuan kehidupan (practical knowledge) mengandung dua dimensi sekaligus yakni teoritis dan praksis, yang keduanya menjadi satu kesatuan yang menyatu dalam tata Kelola birokrasi. 

Dengan kata lain, meritokrasi bukanlah sekedar uraian rumus kompetisi tentang  cognitive ability dan  achievement, melainkan ia harus pula menjadi pemantik bagi birokrat yang telah diberikan amanah untuk selalu menebarkan virus keberterimaan, kepedulian, keadilan dan bahkan kesejahteraan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  


*)Penulis ada Pembina Yayasan Platonic
 

TerPopuler