Bangkit Bersama Menuju NTB Makmur Mendunia, Perspektif Hermeneutika -->

Bangkit Bersama Menuju NTB Makmur Mendunia, Perspektif Hermeneutika

Jumat, 16 Mei 2025, Jumat, Mei 16, 2025

 

Oleh : D. A. MALIK *)

















JUDUL dii atas merupakan tagline Iqbal-Dinda pada masa  kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2024. Tagline ini kemudian dituangkan di dalam visi misi serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi NTB 2025–2029) yang mana dokumen RPJMD tersebut telah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat NTB guna dilakukan pembahasan lebih lanjut.  

Pada kesempatan penyerahan dokumen RPJMD ke DPRD NTB, Gubernur NTB Lalu Muhammad Iqbal (LMI) menyampaikan selayang pandangnya mengenai tiga arah strategis pembangunan NTB yakni pengentasan kemiskinan ekstrim, ketahanan pangan dan pengembangan destinasi wisata berkelas dunia (Lombok Post, 2025).

Yang mana tiga arah strategis pembangunan tersebut tertuang di dalam RPJMD dengan tema ”bangkit bersama menuju NTB Provinsi kepulauan yang makmur mendunia”.

“Bangkit Bersama”, ”Makmur” dan ”Mendunia”, telah diturunkan sebagai blue print (rencana kerja) dari gagasan LMI setelah melihat ke-NTB-an melalui prespektif “helicopter view” atau cara pandang dalam melihat suatu keadaan secara luas, terukur dan sistematis.  

Namun terlepas dari cara pandang yang diletakkan LMI melalui kaidah helicopter view, "term" tentang “Bangkit Bersama”, ”Makmur” dan ”Mendunia”, cukup menarik untuk di ulas melalui perspektif hermenutika. 

Mengingat hermenutika sebagai sebagai sebuah seni pemahaman (versethen) yang telah berkembang dalam interpretasi ”teks” atau ”dokumen”.

Kendati di dalam  RPJMD yang disusun term terhadap “Bangkit Bersama”, ”Makmur” dan ”Mendunia” telah dielaborasi di dalam dokumen tersebut, sebagai misal, bangkit bersama dinilai sebagai  spirit untuk melakukan capaian pembangunan nasional dan mengokohkan kolaborasi serta sinergi berbagai pihak. 

Demikian halnya dengan ”makmur”, diterjemahkan sebagai capaian kualitas hidup masyarakat NTB dan berpendidikan menengah  ke atas. Sedangkan ”mendunia” dikaitkan akan  menjadikan NTB sebagai destinasi wisata berkualitas dan berkelanjutan.  

Namun bagi penulis, pemaknaan terhadap “term” tageline di atas, tidak boleh berhenti sampai disini. Mengingat salah satu ciri dari hermeneutika, khusunya pada lingkaran hermeneutik-nya (circle hermeneutis), selalu terbuka ruang untuk dilakukan interpretasi dalam upaya untuk mencari makna yang berarti terhadap sajian “teks” atau “dokumen” yang hendak di telisik. 

Hermenutika sebagai sebuah seni pemahaman (verstehen) pada tradisi Yunani,  dipandang sebagai derivasi dari kata Hermes yaitu seorang dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (massage) dari sang dewa kepada manusia (E. Sumaryono, 2019). 

Dalam versi yang berbeda, Hermes dianggap sebagai dewa tapal batas, yang memiliki tugas mengungkap makna-makna tersembunyi dari dewa-dewa kepada manusia. (Stehphen Palmquis, 2007). 

Bahkan oleh Marten Heidegger, salah satu komponen hermeneutika romantik, secara terang-terangan mengaitkan heremenutika dengan Dewa Hermes. (Ricard E. Palmer, 2016), yang bertugas menyampaikan pesan para dewa kepada manusia.  Josef Bleicher, 2007).

Hermeneutika sendiri berasal dari kata kerja yang dalam Bahasa Yunani disebut hermenuein, umumnya diterjemahkan sebagai ”menginterpretasi” dan kata benda “hermeneia” yang diterjemahkan sebagai interpretasi. 

Bagi Soecrates dalam dialog Plato yang berjudul Ion (534a) “hermenes eisin to theon” adalah pembawa pesan [botscafer]  para dewa. Sehingga, apabila di runut dari kata-kata paling kuno, maka asal kata hermeneutics dan hermeneutical mengacu pada ”membawa kepada pemahaman”. (Ricard E. Palmer, 2016). 

Dalam naskah penggunaan bahasa kuno Yunani, jika penggunaan hermeneutika  diletakkan pada kata kerjan,  yaitu Hermenuein maka umumnya diterjemahkan sebagai ”menginterpretasi”, yang mengandung arti (1) “mengungkapkan” dengan menggunakan kata-kata yaitu ”mengatakan”, (2) “menjelaskan”, seperti jika kita menjelaskan sebuah situasi dan (3) “menerjemahkan” sebagaimana ketika menerjemahkan bahasa asing. 

Sedangkan apabila diletakkan dengan kata benda (hermeneia) sebagai interpretasi, maka mengandung arti (1) ilmu penafsiran, (2) ilmu mengetahui maksud yang terdapat dalam kata-kata dan ungkapan penulis, dan (3) penafsiran yang secara khusus menunjuk pada penafsiran kitab suci  (Muhammad Ilham Hermawan, 2019).

Di sadari atau tidak, proses penciptaan pemahaman (verstehen) terikat dengan kekuatan sejarah. Yang oleh Hans George Gadamer disebut sebagai wirkungsgechichte atau kesadaran menyejarah. 

Dalam konteks ini, proses memahami tidak lepas dari  data sejarah yang mendahuluinya sebagai pusat refleksi terhadap cakrawala pandang bagi penafsir. Cakrawala yang diletakkan oleh Gadamer mengandung pengertian mencakup apa saja yang dapat dilihat dari titik pandang seseorang berdasarkan kesadaran sejarah cakrawala kekiniannya. 

Akumulasi dari cakrawala masa lampau, masa kini dan masa mendatang dalam bentuk gerak melingkar melalui proses interaksi dan dialog. Hal ini filsof Heidegger yang dipopulerkan oleh Gadamer sebagai lingkar hermeneutika (hermeneutic circle). istilah dalam mengungkapkan proses memahami (verstehen) sebuah teks dengan interpretasi yang bersifat melingkar sepiral timbal balik antara bagian dengan keseluruhan, sehingga dapat memperoleh pemahaman secara komprehensif terhadap teks. 

Diah Imaningrum Susanti, 2019).
Dalam kontek pemahaman lingkar hermeneutika, juga sesungguhnya tidak berhenti sampai di situ, sebab dalam upaya untuk memperoleh makna yang berarti dapat dirumuskan melalui formulasi X1 (Objek / teks yang ditelaah) sedangkan PLGH (paradigma lingkar hermenutika) dan  X2 merupakan hasil yang telah di-PLHG-an.

Dan untuk  melakukan analisis terhadap teks dalam memperoleh “makna yang berarti” dapat dirumuskan melalui formulasi X1 (Objek Yang ditelaah) sedangkan PLGH (paradigma lingkar hermenutika) dan  X2 merupakan hasil yang telah di-PLHG-an berupa bagaimana ”tindakan memahami” perse setalah memperoleh meaning sense atau ”makna yang berarti” pada teks yang ditafsirkan. 
    
Hasil dari makna yang berarti tersebut kemudian diaplikasikan dalam suatu ”tindakan memahami”. Sebagaimana halnya kata “Bangkit Bersama”, ”Makmur” dan ”Mendunia”. 

Bagi penulis, hal ini bukanlah sekedar tagline yang berhenti pada visi-misi kampanye atau hanya berdiam pada teks RPJMD, melainkan suatu pemahaman untuk ditindaklanjuti bersama. 

Dalam kata ”Bangkit”, pada beragai literatur menunjukkan sebagai motivasi dan semangat untuk menjadi. Menjadi apa, menjadi masyarakat NTB yang makmur mendunia. 

Bahkan, inspirasi kebangkitan, sesungguhnya pula di tuangkan di dalam Al-Qur’an surat Ali Imran Ayat 139. Ayat ini secara umum menjelaskan keadaan umat Islam yang mengalami kesedihan akibat kekalahan dalam perang Uhud yang pada akhirnya, Allah memberikan motivasi agar umat menjadi bangkit dari keterpurukan.

Demikian halnya dengan pemerintahan Iqbal-Dinda, bangkit bersama sebagai bentuk semangat untuk “bangkit” dan bahkan “lebih bangkit lagi”.  

Dalam konteks lingkar hermeneutika sebagaimana rumus PLGH dalam menemukan makna yang berarti,  hemat penulis bahwa bangkit  merupakan virus motivasi,  penyemangat dan energi posistif yang hendak disalurkan pemerintahan Iqbal-Dinda untuk terus menuju makmur mendunia. 

Untuk menjadi Makmur dan mendunia, tentu lagi-lagi tidak berhenti pada tatanan wacana, melainkan telah diterjemahkan dalam bentuk rencana strategis yang telah dituangkan di dalam peta jalan ke-NTB-an yakni RPJM. 

Di mana secara strategis dibuat tiga petak dasar untuk mencapai NTB Makmur yang mendunia yakni pengentasan kemiskinan ekstrem, ketahanan pangan, serta pengembangan destinasi wisata berkelas dunia.  

Disadari, untuk mencapai tujuan dimaksud, terdapat tantangan dan hambatan terhadap langkah-langkah untuk mencapai tujuan dimaksud. Apalagi mengukur capaian dalam kerja 100 pemerintahan. 

Hal ini, nampak terlalu dini untuk diberikan penelitian. Mengingat pemerintahan Iqbal-dinda, telah melakukan berbagai upaya strategis baik berupa pembenahan tata Kelola birokrasi melalui proses meritokrasi, komunikasi dengan berbagai pihak terutama kepada pemangku jabatan di pemerintah pusat (Menteri dan presiden), mengundang  kolega kolega LMI (dubes-dubes) dari berbagai negara di luar negeri sebagai bagian untuk memperkenalan NTB sebagai rumah wisata melalui konsep MICE (Meetings, Incentives, Conventions, and Exhibitions). 

Keseluruhan upaya yang dilakukan selama 100 hari ini, memang disadari belum menampakkan hasil secara siginifakan. Namun tentu, terlalu dini pula untuk memberikan penilian yang bernada sinis. Sebaliknya, semangat akan makna “bangkit bersama” ini telah ditunjukkan oleh pemerintahan Iqbal-Dinda dengan berbagai lainnya,  seperti  prosesing restrukturisasi organisasi perangkat daerah,  menyusun (kembali) peta anggaran yang strategis, memberikan “menu” terhdap pokok pikiran atau aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk upaya agar eksekutif dan legislatif  secara bersama sama untuk mewujudkan NTB Makmur dan Mendunia, melakukan upaya “pembenahan” terhadap BUMD (BNTBS), sebagai bagian dari rekomendasi RUPS dan banyak lagi hal hal lain yang  luput dari pemberitaan termasuk terkait dengan persiapan pembentukan koperasi merah putih,  pembenahan asset daerah melalui sistem aplikasi, persiapan revitalisasi irigasi untuk masyarakat, yang kegiatan kegiatan tersebut, seluruhnya sebagai bentuk aplikasi terhadap makna yang berarti dari tagline “bangkit bersama makmur mendunia”. 

Sekali lagi, dalam proses dinamika tata Kelola pemerintahan dalam upaya mencapai tujuan dimaksud, terdapat tantangan dan hambatan. Namun bagi penulis,  kesadaran terhadap penyebaran virus motivasi,  penyemangat dan energi positif pada makna bangkit bersama yang kemudian ditunjukkan dengan berbagai upaya tindakan, merupakan kekuatan (modal) dasar bagi pemerintah Iqbal-dinda untuk menghadap tantangan dan hambatan terus dalam rangka untuk mewujudkan visi misi yang telah dituangkan di dalam RPJMD.  



*) Penulis adalah Pembina Yayasan Platonic  

TerPopuler