![]() |
FOTO. Hasto Kristiyanto |
MATARAM, BL – Tiga ahli hukum menyerahkan dokumen amicus curiae atau sahabat pengadilan kepada Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dalam perkara yang menjerat Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Mereka menyatakan bahwa proses hukum yang berjalan tidak memenuhi syarat minimal pembuktian dalam perkara pidana, serta mengandung pelanggaran serius terhadap prinsip fair trial dan hak konstitusional terdakwa.
Dokumen tersebut disusun oleh Andrean Gregorius Pandapotan Simamora, S.H., M.H., C.C.D. (Advokat dan Konsultan Hukum Korporasi), Zaitun Taher, S.H. (Praktisi Hukum dan Pembela HAM), serta Rahadian Bino Wardanu, S.H., M.H. (Konsultan Hukum Pidana).
Ketiganya menilai bahwa tuduhan terhadap Hasto tidak memiliki dasar pembuktian yang sah, dan alat bukti utama justru diperoleh melalui cara yang melanggar hukum acara.
“Dalam hukum pidana, bukti itu harus lebih terang dari cahaya. Artinya dalam proses pembuktian tidak bisa sekadar asumsi. Kalau tidak ada bukti perintah langsung, tidak ada niat jahat, dan tidak ada tindakan aktif dari Hasto, bagaimana mungkin unsur obstruction of justice bisa dianggap terpenuhi?” ujar Gregorius Simamora dalam pesan tertulisnya, Senin malam 21 Juli 2025.
Menurutnya, penyitaan terhadap barang bukti berupa ponsel Kusnadi, staf sekretariat DPP PDI Perjuangan dilakukan tanpa prosedur hukum yang sah, tanpa berita acara resmi, tanpa saksi independen, dan tanpa persetujuan Dewan Pengawas KPK.
"Padahal, hal-hal tersebut adalah ketentuan wajib dalam hukum acara dan peraturan internal KPK," kata Gregorius.
Ia menegaskan bahwa, percakapan WhatsApp yang dijadikan bukti oleh penuntut, justru tidak diverifikasi oleh digital forensik independen.
Selanjutnya, juga tidak memiliki rantai bukti (chain of custody) yang jelas.
“Kalau bukti diambil tanpa prosedur, itu bukan sekadar pelanggaran administratif. Itu sudah masuk wilayah pelanggaran hak asasi. Hak konstitusional terdakwa dilanggar. Dan jika ini terus dibiarkan, preseden buruk bisa terjadi,” tegas Praktisi Hukum dan Pembela HAM, Zaitun Taher menjelaskan.
Diakuinya, penyusun amicus curiae juga mengingatkan bahwa kesaksian yang diambil dari Kusnadi, Staf Sekretariat DPP PDI Perjuangan, diduga diberikan dalam kondisi dibawah tekanan, baik secara psikologis maupun situasional.
"Hal ini melanggar asas due process of law dan tidak bisa dijadikan dasar pembuktian, sebagaimana ditegaskan dalam sejumlah putusan Mahkamah Agung," kata Zaitun lantang.
Sementara itu, Konsultan Hukum Pidana, Rahadian Bino Wardanu mengatakan, perkara ini memiliki tanda-tanda kuat sebagai bentuk miscarriage of justice.
"Ini bukan soal simpati, ini soal prinsip. Jika prosesnya cacat dan alat buktinya tidak sah, maka satu-satunya putusan yang adil adalah membebaskan," ungkapnya.
Ketiganya juga menyampaikan kekhawatiran atas potensi kriminalisasi politik dalam perkara ini. Sebab, Hasto adalah tokoh partai besar yang berada di luar pemerintahan.
Maka, proses hukum terhadapnya harus sangat hati-hati dan transparan, untuk memastikan tidak ada unsur tekanan kekuasaan atau kepentingan politik di balik proses penegakan hukum.
Dalam dokumen setebal puluhan halaman tersebut, mereka juga mengutip yurisprudensi penting yang memperkuat argumentasi, antara lain Putusan MA No. 1689 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.
“Kita tahu, keputusan dalam perkara ini akan menjadi ujian bagi integritas dan independensi peradilan kita. Jika hakim tetap menjatuhkan vonis padahal pembuktiannya lemah dan prosedurnya cacat, maka itu bukan lagi sekadar kekeliruan, itu adalah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan,” papar Gregorius.
Ketiga ahli hukum ini menutup pernyataannya dengan satu seruan yang jelas. Yakni, Majelis Hakim harus menjatuhkan putusan bebas murni (vrijspraak) bagi Hasto Kristiyanto.
"Bukan karena tekanan, bukan karena afiliasi politik, tetapi karena memang hukum positif dan hati nurani menuntutnya demikian," tandas Gregorius. (R/L..).