![]() |
Oleh: Amir Mahmud. *) |
JAUH sebelum agenda pembentukan 'koperasi merah putih' bergulir menjadi program fenomenal saat ini, lebih dulu sejarah mencatat gagasan bernas itu dari seorang anak muda pendiri bangsa: Mohammad Hatta.
Dalam sebuah catatan bernas Yusran Darmawan: Koperasi bukan PROYEK, tapi PERJUMPAAN, mengurai dengan apik, ide koperasi sebagai instrumen ketahanan ekonomi berbasis kekeluargaan.
Koperasi dalam alam pikiran Mohammad Hatta bukan agenda yang di bangun dari pusat (pemerintah) tapi praktik ekonomi yang hidup di tengah masyarakat dengan basis prinsip kekeluargaan. Dimana prinsip kekeluargaan menghasilkan semangat kebersamaan dan gotong royong. Dengan demikian ekonomi koperasi akan tumbuh dari kesadaran masyarakat bukan dari desain elit kuasa yang tidak bebas nilai.
Ketika program koperasi merah putih di bangun atas dasar kepentingan elit kuasa tanpa membangun kesadaran masyarakat sebagai subjek program itu, maka sejak saat ini, bisa di pastikan agenda koperasi merah putih hanyalah agenda lima tahunan dan mungkin juga bisa jadi adalah proses "perburuan rente" elit kuasa dengan kedok program kesejahteraan rakyat.
Kita setuju pemerintah membangun instrumen kesejahteraan tapi memposisikan rakyat sebagai subjek bukan sebagai objek.
Bung hatta, dalam perjalanan aktivisme politiknya menyadari, koperasi yang di cita-citakan bukan instrumen yang di kloning pemerintah tapi aktivitas penyadaran yang di lakukan di tengah masyarakat melibatkan semua unsur dan stekholder yang hidup menopang dinamika juga dialektika masyarakat.
Koperasi bukan hanya proses mengumpulkan modal kapital semata. Jauh di dalamnya ada mekanisme dialetika anggota sebagai roh yang akan tumbuh menjadi nilai perekat kebersamaan. Sebab ekonomi koperasi memang proses mikro yang di kontrol nilai saling percaya dan menghargai. Mohammad Hatta mengajarkan: koperasi hanya tumbuh jika berakar pada kesadaran warga.
*Fungsi Regulator dan fasilitator*
Kehadiran koperasi merah putih sebagai ikhtiar pemerintah wujudkan kesejahteraan untuk rakyat, tentu kita apresiasi sebesar-besarnya. Namun tidak sebagai proyek kloning dari pusat ke desa.
Gagasan membangun koperasi di 80 ribu lebih desa akan menjadi bermakna ketika fondasi dari pembangunan itu di mulai dari melakukan pendidikan penyadaran kepada masyarakat sampai terbangun kesadaran kolektif warga: Bahwa koperasi merupakan proyek bersama rakyat, dengan basis kesadaran saling percaya dan saling mengasihi.
Ketika nilai-nilai itu sudah tumbuh dan menjadi praktik kolektif warga, koperasi merah putih tidak perlu di dorong dari atas ke bawah. Dia akan tumbuh dengan sendiri sebagai kesadaran untuk saling menjaga dan saling menolong.
Dalam catatan Yusran Darmawan: Bung Hatta di ceritakan membawa ide koperasi ke negeri yang di cintainya adalah hasil pengamatan beliau di sela kuliah ekonomi di roterdam, Mohammad Hatta singgah di toko-toko milik bersama dan mengamati-bagaimana buruh, petani dan pedagang membentuk koperasi sebagai instrumen menyiasati kerasnya hidup.
Dalam alam pikiran sang proklamator, koperasi bukan sebuah proyek tapi proses. Aktivitas koperasi tumbuh dari kesadaran warga yang saling percaya satu sama lain tanpa sekat kelas dan strata sosial. Karena itu bukan sistem ekonomi liberal yang di desain untuk menciptakan kelas sosial tertentu. Koperasi di ciptakan untuk saling melindungi antara si kaya dan miskin, lemah dan kuat, besar dan kecil, berdaya dan tidak berdaya. Dengan demikian spirit nilai yang harus terlebih dahulu di bangun adalah kekeluargaan, kebersamaan dan kasih sayang. Maka oleh karena itu koperasi tidak di kloning pemerintah tapi tumbuh dari akar kesadaran warga di bawah.
Pemerintah sekedar menjalankan fungsi regulator dan menjadi fasilitator mendidik warga untuk memiliki kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kekeluargaan, kebersamaan dan kasih sayang antar sesama warga. Pemerintah hanya menyiapkan regulasi guna melindungi warganya yang berkumpul dalam satu wadah bernama: Koperasi Merah Putih.
Regulasi di butuhkan agar perkumpulan warga dapat terlindungi ketika terjadi persoalan yang merugikan wadah warga (Koperasi). Kehadiran negara harus di pastikan dalam isi regulasi sebagai penjamin keberlangsungan komunitas.
Sedangkan fungsi fasilitator adalah dalam rangka memberikan pendidikan kepada warga, betapa Koperasi bisa menjadi alternatif perjuangan ekonomi yang lebih adil dan setara. Koperasi harus di pahami warga sebagai instrumen atau wadah terbuka untuk saling melindungi atau proteksi ketika terjadi gejolak ekonomi ditingkat makro.
Hanya dengan ekonomi kewargaan( Koperasi) kedaulatan ekonomi kita akan bertahan dan tumbuh perlahan. Sebagai sebuah ide kedaulatan ekonomi, Koperasi telah beberapa kali hadir dalam perjalanan ekonomi bangsa. Dari konsep Koperasi Unit Desa (KUD) yang didirikan seragam di era orde baru di seluruh desa, namun ia hanya tersisa sebagai simbol. Lalu rezim reformasi hadir dengan konsep baru bernama: BUMDES.
Badan Usaha Milik Desa di andaikan seperti Badan Usaha Milik Negara, tapi tidak di fasilitasi dan edukasi visi yang di emban Bumdes untuk tujuan apa dan spirit apa. Rezim berganti rezim, Bumdes tak pernah mampu menjadi solusi bagi kemiskinan dan sempitnya lapangan kerja di desa.
Lagi-lagi Bumdes menjadi spekulasi nalar kotor penulis : Apakah Bumdes juga adalah praktik kotor perburuan rente oleh elit kuasa atas nama program kesejahteraan rakyat. Sekali lagi kesejahteraan rakyat menjadi "mantra" sakti elit politik dan pemegang kuasa memperkaya diri sendiri dan kroni.
Jangan-jangan Koprasi Merah Putih juga bagian dari aktivitas lama yang hidup kembali. Melanjutkan pikiran lama rezim mertua di teruskan rezim menantu di nikmati elit penentu dan pemburu. Dari mertua menuju menantu, dari orba sampai bertemu. Praktik perburuan rente adalah ending dari mantra sakti program kesejahteraan. Semoga saja tidak.
*)Penulis adalah peneliti pada lembaga riset Lombok Riset Center (LRC)