Provinsi Pulau Sumbawa: Sebuah Upaya Merapikan Peta Keadilan -->

Provinsi Pulau Sumbawa: Sebuah Upaya Merapikan Peta Keadilan

Selasa, 13 Mei 2025, Selasa, Mei 13, 2025

 

Oleh. Dharojatun*











Di bawah langit biru Indonesia bagian timur, Pulau Sumbawa membentang luas dengan gugusan bukit, laut, dan tanah subur yang menyimpan kekayaan alam tak terhingga. Di balik keindahannya, pulau ini menyimpan cerita panjang tentang harapan yang belum dipenuhi. Harapan akan keadilan pembangunan, akses terhadap layanan publik yang setara, serta hak untuk menentukan arah masa depannya sendiri.


Selama lebih dari enam dekade menjadi bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Sumbawa belum merasakan pemerataan pembangunan secara utuh. Wacana pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa bukanlah hal baru, sudah di suarakan sejak 20 tahun yang lalu, tetapi akhir-akhir ini semakin menguat karena kenyataan di lapangan yang mendesak: kesenjangan antara Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok, baik dalam hal infrastruktur, pelayanan publik, maupun pembangunan ekonomi, semakin terasa lebar. Keinginan untuk membentuk provinsi sendiri bukan datang dari kehendak politik, bukan juga mainan elit politik semata, melainkan muncul dari pengalaman panjang sebagai daerah yang tertinggal dalam pengambilan keputusan strategis.


Lombok, sebagai pusat pemerintahan provinsi, menikmati infrastruktur yang jauh lebih baik dan lengkap. Jalan-jalan di kota Mataram mulus dan terhubung antarwilayah. Bandara internasional, pelabuhan modern, fasilitas pendidikan tinggi, dan rumah sakit rujukan semua terpusat di sana. Tak hanya itu, program-program pembangunan dan investasi pemerintah pusat juga cenderung lebih mengalir deras ke Pulau Lombok. Ini wajar secara administratif karena pusat provinsi berada di sana—namun menjadi tidak adil ketika pulau lain, seperti Sumbawa, hanya menerima sisa-sisa perhatian.


Sebaliknya, masyarakat Sumbawa masih harus berjibaku dengan infrastruktur dasar yang terbatas. Jalan-jalan antar-kecamatan masih banyak yang berlubang dan belum diaspal. Di musim hujan, akses ke desa-desa terisolasi. Listrik belum menjangkau semua wilayah pelosok, jaringan internet lemah, dan layanan kesehatan masih terpusat di kota-kota besar. Untuk mendapatkan pelayanan rumah sakit yang layak, warga dari wilayah timur dan sslatan Sumbawa kadang harus menempuh belasan jam perjalanan ke Mataram. Pendidikan tinggi pun masih terbatas; mahasiswa dari Sumbawa banyak yang harus hijrah ke Lombok atau luar provinsi.


Sumbawa adalah pulau yang luas, lebih dari 15.000 km², lebih besar dari Lombok. Dengan lima kabupaten (Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima, dan Kota Bima), populasi dan dinamika sosialnya cukup kuat untuk berdiri sendiri sebagai provinsi baru. Bukan hanya soal luas wilayah, tetapi juga karena kekayaan sumber daya alam yang sangat besar. Tambang emas, cadangan mineral, lahan pertanian yang subur, sektor perikanan, hingga peternakan rakyat tersebar luas di sini. Namun kekayaan itu belum sepenuhnya dinikmati secara adil oleh masyarakat setempat.


Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB tahun 2023 mencatat bahwa sektor-sektor utama penyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB adalah Pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 21,39%, Pertambangan dan penggalian sebesar 20,37%, Sementara sektor Pariwisata hanya menyumbang 1,75 persen bagi perekonomian NTB. 


Fakta ini menarik, karena sebagian besar sektor tersebut justru lebih dominan berada di Pulau Sumbawa. Tambang emas di Batu Hijau (Sumbawa Barat), Dodo Rinti (Sumbawa) serta Sumbawa Timur Mining (Dompu), budidaya rumput laut di Teluk Saleh, hasil ternak sapi dan jagung yang menjadi komoditas andalan nasional, semua berasal dari tanah Sumbawa. Sayangnya, kontribusi ini belum sebanding dengan perhatian kebijakan maupun pembagian hasil yang dinikmati oleh masyarakat lokal.


Wacana pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa bukanlah tentang pemisahan diri dari sejarah NTB, tetapi tentang usaha untuk merapikan kembali peta keadilan. Dengan menjadi provinsi sendiri, Sumbawa akan memiliki keleluasaan untuk menyusun prioritas pembangunan berdasarkan kondisi lokal. Anggaran pembangunan bisa diarahkan secara lebih tepat sasaran. Pelayanan publik bisa lebih dekat dan cepat. Kebijakan bisa diambil dengan melibatkan lebih banyak tokoh dan masyarakat Pulau Sumbawa sendiri.


Banyak yang menyatakan kekhawatiran soal kesiapan Pulau Sumbawa menjadi provinsi. Namun jika kita melihat dari sisi geografis, ekonomi, sosial, dan budaya, Pulau Sumbawa telah cukup matang. Lima daerah administratif telah siap menjadi tulang punggung provinsi baru. Dengan struktur pemerintahan yang sudah berjalan, sumber daya alam yang melimpah, dan masyarakat yang semakin melek politik dan pembangunan, Sumbawa tidak sedang meminta, tapi menyatakan kesiapan.


Ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa otonomi bukan hanya sekadar memindahkan kantor, tapi memberdayakan masyarakat. Bahwa menjadi provinsi bukan hanya soal bendera dan lambang, tapi tentang bagaimana rakyat Sumbawa bisa hidup lebih baik, lebih sehat, dan lebih sejahtera.


Sudah waktunya suara dari timur ini didengar. Suara yang bukan berteriak, tapi berseru dengan tenang: kami ingin berdiri di atas kaki sendiri. Kami ingin punya ruang untuk menentukan arah, dan kami percaya bisa tumbuh lebih cepat jika diberi kesempatan untuk memimpin diri sendiri.


Pulau Sumbawa tak sedang marah. Ia hanya ingin diberikan kepercayaan. Seperti anak yang tumbuh dewasa, sudah sepantasnya ia dilepas untuk berjalan dengan keyakinannya sendiri, bukan untuk pergi, tapi agar bisa kembali dengan capaian yang lebih baik. (**)


*)Penulis Aktifis Sosial Kemasyarakatan dan Tokoh Pemuda Pulau Sumbawa

TerPopuler