Komisi II DPRD NTB dan DPR Sepakat Penataan Jalur dan SOP Rinjani Tak Lupakan Kearifan Lokal -->

Komisi II DPRD NTB dan DPR Sepakat Penataan Jalur dan SOP Rinjani Tak Lupakan Kearifan Lokal

Minggu, 10 Agustus 2025, Minggu, Agustus 10, 2025
FOTO. Anggota DPR RI Komisi IV, Johan Rosihan saat menerima Wakil Ketua DPRD NTB Muzihir, Ketua Komisi II Lalu Pelita Putra, Wakil Ketua Komisi II Hj Megawati Lestari dan Anggota Komisi II Rohani di ruang kerjanya di Jakarta. 













MATARAM, BL -  Komisi II DPRD NTB yang membidangi Perekonomian menemui Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PKS Johan Rosihan di Jakarta, Kamis 7 Agustus 2025


Dalam kesempatan itu, sejumlah hal dilakukan pembahasan. Mulai pertanian, pariwisata, perkebunan hingga tata kelola penanganan standar operasional prosedur (SOP) baru untuk pendakian ke Gunung Rinjani yang akan diberlakukan Pemprov NTB bersama Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR), mulai 11 Agustus 2025.


Apalagi, sejumlah insiden terjadi di gunung tertinggi di Provinsi NTB ini. Mulai insiden Juliana Marins, kecelakaan di jalur pendakian Gunung Rinjani kembali dialami dua pendaki asing, Benekdikt Emmeneger, wisatawan asal Swiss mengalami patah tulang kaki dan tangan pada Rabu, 16 Juli 2025. 


Keesokan harinya, wisatawan asal Belanda, Sarah Tamar van Hulten, jatuh di lokasi yang berdekatan. Kedua pendaki itu dievakusi ke Bali melalui jalur udara menggunakan helikopter.


Komisi II DPRD NTB memandang bahwa, penataan perbaikan jalur pendakian melalui membuat undakan untuk memudahkan pendaki serta meningkatkan keamanan bagi wisatawan yang berkunjung.


Serta, penerapan SOP tersebut agar tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan kearifan lokal di wilayah Gunung Rinjani.


Mengingat, jalur pendakian di Tama Nasional Gunung Rinjani masuk kategori grid level empat atau satu tingkat di bawah medan pendakian paling berat.


"Prinsipnya, kami mendukung langkah penataan trecking Rinjani, termasuk SOP yang dibuat tapi, enggak boleh menghilangkan kelestarian dan kearifan lokal yang selama ini ada di Gunung Rinjani," ujar Ketua Komisi II DPRD NTB Lalu Pelita Putra. 


Di hadapan Johan Rosihan. Lalu Pelita yang didampingi Wakil Ketua DPRD NTB Muzihir, Wakil Ketua Komisi II Hj Megawati Lestari dan Anggota Komisi II Hj Rohani. 


Politisi PKB ini mengaku bahwa terdapat beberapa nilai kearifan lokal yang mencerminkan dimensi nilai lokal di kawasan Rinjani.  Pertama, patuh pada orang tua merupakan nilai yang tercermin dari kisah Dewi Anjani, yang menunjukkan ketaatan sang dewi terhadap kehendak orang tuanya, bahkan jika itu melibatkan larangan menikah dengan pilihan pribadinya.


"Ketaatan ini menjadi awal transformasi Dewi Anjani menjadi bangsa jin," kata Pelita. 

 

Selanjut kedua, kasih sayang juga menjadi nilai lokal yang tercermin dalam kisah Dewi Anjani. 


Menurut Pelita, penghargaan dan cinta masyarakat bangsa jin terhadap Dewi Anjani menjadi alasan mengapa dia diangkat menjadi ratu jin. 


Terlebih, kasih sayangnya terlihat dalam tindakan menolong Doyan Neda dari kekejaman ayahnya, yang kemudian hidup kembali berkat pertolongan sang Dewi.

 

Ketiga, tradisi Menyembe dan Wetu Telu mencerminkan nilai kearifan lokal terkait dengan hubungan manusia dengan alam dan sesama manusia. 


"Ritual adat Menyembe, yang melibatkan memberikan tanda di dahi bagi orang-orang yang akan mendaki Gunung Rinjani, menunjukkan kesadaran akan keberadaan makhluk gaib di tempat tersebut," ungkap Pelita.


Dijelaskannya, hubungan antara Dewi Anjani dengan agama Islam, yang diakui sebagai jin Islam, tentunya mencerminkan pengaruh kearifan lokal terhadap agama. 


Hal ini tercermin dalam falsafah "Wetu Telu," yang awalnya merupakan sinkretisme antara agama Islam dan agama Siwa-Budha di Lombok.


Di mana, lanjut Pelita, di Desa Bayan, Kabupaten Lombok Utara (KLU), justru tradisi Wetu Telu menjadi pedoman masyarakat. Tradisi tersebut menekankan keseimbangan antara hubungan Tuhan dengan manusia, manusia dengan sesama, dan manusia dengan lingkungan. 


"Dan, nilai-nilai ini mengakar pada kepercayaan bahwa ketidakseimbangan dalam ketiga unsur tersebut dapat mengganggu kesejahteraan masyarakat," tegas Pelita. 


Sebelumnya, Pemprov dan BTNGR, mulai merumuskan SOP  baru saat melakukan pendakian ke Gunung Rinjani selama masa penutupan pendakian yang berlangsung 1-10 Agustus 2025. 


Kepala Dinas Pariwisata NTB Ahmad Nur Aulia mengatakan SOP bahwa penggodokan SOP baru tengah dikoordinasikan dengan TNGR. "Insyaallah SOP akan paralel dilaksanakan pasca-masa pemeliharaan jalur," ujarnya, Senin (28/7) lalu. 


SOP baru tersebut meliputi pembenahan dan melakukan verifikasi serta validasi berbagai hal. SOP yang baru akan menetapkan standar untuk mengantisipasi insiden di jalur pendakian.


Dinas Pariwisata juga akan melakukan proses peningkatan keterampilan untuk 371 porter dan pemandu yang mencari nafkah di Gunung Rinjani. Berkoordinasi dengan Kementerian Pariwisata, pelatihan bagi pemandu itu akan dilaksanakan pada masa libur.


"Selama ini kan kita kesulitan mencari pemandu dan porter kalau masa musim ramai atau high season di Rinjani, karena semua pada bawa tamu," kata Aulia. 


Dia mengatakan dari 661 porter dan pemandu di Gunung Rinjani, 371 orang di antaranya belum diberikan sertifikasi pemandu. Dari 371 orang itu, 50 pemandu telah diberikan sertifikasi selama masa pemeliharaan jalur di Gunung Rinjani.


"Jadi masih ada tersisa sejumlah 321 orang dan 50 (orang) sudah kita berikan pelatihan. Sisanya di masa pemeliharaan itu kita gencarkan 1-10 Agustus," ujar Aulia.


Ia mengatakan dalam proses pemberian pelatihan kepada 371 pemandu Rinjani juga diberikan pengetahuan dasar terkait dengan penanganan kesehatan dasar dan keselamatan. 


Seluruh pemandu diberikan pemahaman tentang pelaksanaan penyelamatan secara dasar ketika terjadi insiden di Rinjani.


"Jadi, dalam pelatihan itu pemandu itu tidak ada menu untuk rescue dasar. Tapi kita sudah minta SAR memberikan berbagi tambahan ilmu untuk pemandu soal rescue dasar," kata Aulia. 


Sebelumnya, Kepala Balai TNGR Yarman mengatakan revisi SOP pendakian Gunung Rinjani bakal dilakukan bersama seluruh pihak, pemerintah daerah, termasuk pelaku pariwisata dan masyarakat sekitar Gunung Rinjani. 


Revisi tata kelola Rinjani ini dibicarakan usai kasus Juliana Marins, pendaki Brasil yang jatuh dan meninggal.


"Kami sampaikan ada beberapa evaluasi. Ada evaluasi SDM kami sendiri dan pelaku wisata, sarana termasuk SOP akan kita revisi bersama," ujarnya.


Revisi SOP pendakian ini dibahas oleh kelompok kerja (pokja). Pokja dibentuk berasal dari berbagai kalangan, termasuk TNGR, Pemprov NTB, dan pihak-pihak lainnya. 


"Nanti pokja sendiri yang membicarakan terkait peran masing-masing. Jadi poin dalam SOP ini porter, TO, guide apa peranannya. Ya mudahan bisa segera terealisasikan. Nanti akan ada pertemuan lanjutan," katanya.


*Jalur Pendakian Dibuat Undakan


Terpisah, Deputi Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata Hariyanto mengatakan bahwa perbaikan jalur dilaksanakan dalam bentuk pembuatan undakan agar mudah untuk dipijaki oleh pendaki, bukan dengan pemasangan tangga buatan. 


Perbaikan itu berpusat pada titik-titik rawan, khususnya di jalur Pelawangan Sembalun–Danau Segara Anak.


Inisiatif perbaikan itu datang dari Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) bersama tim gabungan yang terdiri atas anggota Kodim 1615 Lotim dan Yon Zipur 18/YKR, Rinjani Squad, porter lokal, serta relawan.


Adapun tujuan utama dari pembuatan undakan ini adalah agar jalur lebih stabil dan mudah dipijak, terutama di area yang terjal dan licin, sehingga akan meningkatkan keamanan dan kemudahan bagi pendaki.


Pemasangan undakan ini menarik perhatian masyarakat. Banyak yang membadingkannya dengan Cina yang lebih dulu memasang eskalator di sejumlah pegunungan. Namun, Hariyanto mengatakan Pemerintah Indonesia lebih memilih menjaga kondisi alam tetap lestari.


"Sebagaimana kita ketahui, Gunung Rinjani merupakan gunung api yang aktif dan rawan longsor, sehingga tidak cocok untuk pemasangan tangga atau eskalator," katanya.


Menurutnya, pemasangan struktur buatan dengan skala besar seperti eskalator akan berdampak signifikan pada bentang alam, ekosistem, dan keanekaragaman hayati.


Selain itu, area pegunungan tersebut dikenal rawan longsor dan pergerakan tanah, terutama saat musim hujan atau aktivitas seismik. Pembangunan infrastruktur berat seperti eskalator akan sangat berisiko tinggi terhadap kerusakan dan bahkan membahayakan keselamatan pengunjung.


Hariyanto juga menjelaskan petualangan mendaki Rinjani dengan tantangan fisik yang ditawarkan oleh alam merupakan daya tarik tersendiri. 


Pemasangan fasilitas modern seperti eskalator akan mengurangi esensi dari pengalaman mendaki gunung itu dan mengubah karakter Rinjani sebagai destinasi pendakian alam.


"Balai TNGR juga berupaya untuk tetap menjaga autentisitas pengalaman para pendaki," ucapnya. 


*Sayangkan Jalur Pendakian jadi Tempat Wisata Massal


beberapa jalur pendakian yang populer kini telah menyerupai tempat wisata massal sehingga kehilangan keasliannya dengan antrean panjang para pendaki yang mengular dan spot foto viral yang ramai dikunjungi.


"Esensi petualangan dan keheningan seringkali tergerus oleh keramaian, mirip sebuah mal di atas gunung," tuturnya.


Kondisi itu juga mendorong industri perlengkapan outdoor mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dan menciptakan pasar yang menggiurkan. Jaket gunung dengan teknologi canggih, sepatu anti-air yang modis, hingga matras ringan yang inovatif tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat, melainkan telah menjadi simbol status baru bagi para penggunanya yaitu bagian dari "seragam" pendaki kekinian.

"Fenomena ini pada akhirnya mengaburkan batas yang tipis antara pencarian makna yang tulus dan pencitraan diri di mata publik. Sebuah pertanyaan besar muncul dan menggema di benak: apakah kita mendaki karena mendengar panggilan alam yang tulus, atau karena tuntutan algoritma media sosial yang haus akan visual?," ujarnya.


Meskipun begitu, Johan menekankan bahwa tidak ada yang salah dengan keinginan untuk berprestasi atau terlihat keren di mata orang lain ketika mendaki gunung. Hal itu ia akui sebagai bagian dari fitrah manusia untuk diakui.


"Namun, ada sesuatu yang berharga yang seringkali hilang ketika gunung hanya dipandang dari sudut pandang ini. Esensinya sebagai ruang hening yang mendalam, tempat jiwa menemukan jeda dari segala hiruk pikuk dunia," tuturnya. 


*Budaya Mendaki


Dalam tradisi lokal Nusantara, gunung selalu memiliki tempat yang istimewa dan sakral dalam kepercayaan masyarakat. Ia bukan sekadar benda mati yang menjulang tinggi, melainkan dianggap sebagai makhluk hidup yang dihormati dan dimuliakan, tempat bersemayamnya kekuatan gaib.


Gunung Rinjani, misalnya, bagi masyarakat Sasak di Lombok, bukan hanya sekadar objek pendakian yang menantang adrenalin. 


Ia adalah ruang sakral yang dijaga dan dihormati secara turun temurun, sebuah warisan leluhur yang tak ternilai harganya, lebih dari sekadar pemandangan.


"Sayangnya, makna-makna luhur seperti ini perlahan-lahan memudar, tergilas oleh derasnya arus pariwisata massal dan konsumsi digital yang semakin merajalela. Keaslian dan kesakralan gunung terancam, berganti dengan hingar bingar komersialisasi," terang Johan.


Dalam dunia yang kian bising oleh citra dan konten, Johan mengajak publik untuk kembali menundukkan kepala dihadapan gunung bukan demi kamera, tapi demi kesadaran.


Menurut Johan, gunung bukan panggung. Melainkan ruang kontemplasi yang mengajarkan kerendahan hati. Ia berharap, di tengah maraknya tren pendakian digital, makna sejati mendaki tak benar-benar hilang, yakni sebagai perjalanan sunyi menuju diri sendiri, bukan sekadar puncak demi pengakuan.


Johan menambahkan, seseorang memiliki alasan mendaki gunung yang berbeda satu sama lain. 


Menurutnya, ada yang termotivasi untuk menantang diri sendiri, menguji batas kemampuan fisik dan mental mereka. Ada pula yang mendaki untuk melarikan diri sejenak dari rutinitas yang monoton, atau sekadar ikut-ikutan tren yang sedang populer di masyarakat, seolah tak ingin ketinggalan zaman.

Gunung juga kini menjadi bagian dari narasi-narasi populer yang beredar luas di jagad digital, seperti healing (penyembuhan diri dari stres kota), exploring (menjelajah tempat baru dan diri sendiri), atau self-reward (penghargaan atas kerja keras). 


Istilah-istilah ini mencerminkan bagaimana mendaki gunung dipandang sebagai bagian dari perjalanan menemukan diri, sebuah eskapisme yang diperbolehkan.


Berangkat dari pengalaman mendalamnya, ia menekankan mendaki gunung adalah aktivitas dengan beragam motivasi, salah satunya menemukan keheningan dari hiruk pikuk perkotaan.


"Beberapa memilih untuk menantang batas diri, menguji ketahanan dan kekuatan mereka di setiap tanjakan terjal. Sementara itu, ada pula yang mendaki untuk menemukan kembali kedamaian yang hilang, sebuah pelarian dari kebisingan dunia, seperti menemukan oase di tengah gurun," ucap Johan.


Mengungkapkan alasannya, Johan menyebutkan bahwa gunung sejatinya menjadikan seseorang untuk menghargai keheningan yang menakjubkan. 


Bahkan, jika melihat peradaban kuno, puncak gunung seringkali dianggap sebagai kediaman para dewa, tempat para dewa-dewi bersemayam atau sebagai lokasi sakral untuk melaksanakan ritual-ritual suci yang menghubungkan manusia dengan kekuatan Ilahi.


"Tak heran jika gunung telah memiliki daya pikat spiritual yang kuat sejak zaman dahulu kala, mengundang rasa hormat dan kekaguman. Namun, di era modern ini, alasan mendaki gunung bisa jadi lebih praktis dan beragam, jauh dari nuansa mistis masa lalu," tandas Johan Rosihan. (R/L..).

TerPopuler