Beber Kejahatan Rezim Orde Baru, Peristiwa "Kudatuli" Jadi Ajang Konsolidasi Penguatan Spirit Partai Wong Cilik -->

Beber Kejahatan Rezim Orde Baru, Peristiwa "Kudatuli" Jadi Ajang Konsolidasi Penguatan Spirit Partai Wong Cilik

Sabtu, 29 Juli 2023, Sabtu, Juli 29, 2023

 

FOTO. Saksi sejarah peristiwa Kudatuli, Maureen Grace Wenas saat menceritakan bagaimana saat peristiwa Kudatuli banyak kawan sesama mahasiswa yang luka-luka, meninggal dunia dan bahkan hilang yang hingga kini belum ditemukan. 








MATARAM, BL - DPC PDIP Kota Mataram menggelar diskusi peringatan peristiwa Sabtu kelabu 27 Juli 1996 atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Kudatuli. 


Diskusi tersebut digelar untuk membangun kesadaran sejarah bagi kader bagaimana perjuangan demokrasi di masa-masa awal berdirinya PDIP dibawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. 


Diskusi peringatan tragedi Kudatuli yang digelar PDIP Mataram pada Kamis malam, 27 Juli 2023 itu menghadirkan narasumber dari saksi sejarah peristiwa Kudatuli, Maureen Grace Wenas dan Hakam Ali Niazi.


Selanjutnya, mantan Ketua Ombudsman NTB, Adhar Hakim yang juga jurnalis senior NTB, akademisi Fakultas Hukum Unram, Widodo Dwi Putro, dan Ketua DPC PDIP Mataram, Made Slamet serta pengurus dan kader. 


Diketahui peristiwa Kudatuli tersebut adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan), dan Maureen Grace Wenas berada disitu pada saat peristiwa berdarah itu berlangsung. 


Pada saat itu Maureen sedang menempuh studi di fakultas ekonomi Universitas Atmajaya, dan tampil menjadi salah satu aktifis perempuan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Merasa terpanggil untuk ikut mempertahankan kantor DPP PDI dibawah penguasaan kubu Mega dari upaya perebutan paksa kubu Soerjadi. 


"Kenapa kami ada disitu ikut membela. Pertama karena ada demokrasi yang tergganggu disitu. Kedua Sarinah (pejuang perempuan GMNI) kami disitu, ibu Megawati yang jadi ketua umum PDI defakto sehingga kami datang untuk melakukan mimbar bebas," ujar Mauren. 


"Dulu kita tidak paham politik, dan tidak tahu itu konflik siapa melawan siapa. Kami melakukan pembelaan karena kami bangga Sarinah kami jadi ketua partai. Dan ada menjadi catatan dalam hidup saya, pada satu masa saya pernah berjuang, tanpa berpikir apa yang kami perjuangkan," sambungnya. 


Tidak berselang lama dari aksi mimbar bebas yang dilakukan oleh Maureen bersama aktivis GMNI dan mahasiswa lainnya. Massa dari kubu Soerjadi yang sudah bercokolnya disana berubah menjadi beringas melakukan penyerangan. 


Yang mengejutkan Maureen dan kawan-kawannya adalah aparat yang hadir distu melakukan pengamanan, ikut bertindak beringas memukul para pendukung kubu Mega. 


"Tiba -tiba batu melayang, massa dari Soerjadi sudah semakin beringas, aparat ikut menghajar kami semua disitu. Semua yang pakai jas merah dihabisi semua, ada yang  siksa, diculik, dan dihilangkan sampai sekarang," ungkap Maureen sambil air matanya mulai jatuh saat harus mengingatkan kembali peristiwa itu. 


Dengan suara bergetar, Maureen mecoba terus melanjutkan penuturan kesaksiannya atas peristiwa tersebut. Karena banyak teman-temannya disitu yang hilang, meninggal, luka-luka. Sementara dia sendiri beruntung masih bisa selamat. Tapi hal itu membuat dirinya merasa terpukul. 


"Yang buat saya sakit, kawan saya sudah tidak ada dia lagi, sampai sekarang juga ada yang cacat. Mungkin saya tersenyum saja sekarang ini saya berdosa, tidak berhak rasanya, sedangkan kawan saya hilang dan cacat. Tapi sampai sekarang Kudatuli dinyatakan sebagai tragedi HAM biasa," jelas Maureen dengan terbata-bata sesunggukan menangis. 


Pesan moral yang ingin disampaikan Maureen dari penuturannya itu yakni bagaimana kader-kader banteng hari ini terus menyalakan api perjuangan partai dengan mengetahui bagaimana kader-kader terdahulu berdarah-darah membangun PDIP dibawah kekuasaan tangan besi rezim orde baru. 


"Jadi partai ini kita bangun bukan dengan tepuk tangan, bukan dengan tiup lilin, tapi partai ini dibangun dengan pengorbanan darah dan nyawa tema-teman saya. Kudatuli adalah sejarah kelam demokrasi Indonesia, jadi pelajaran bagi generasi muda. Karena itu jadikan partai ini sarana untuk melayani rakyat," papar Mauren.




FOTO. Wakil Ketua DPD PDIP NTB Hakam Ali Niazi (kiri) bersama Ketua DPC PDIP Mataram, Made Slamet (kanan) dan dua narasumber berbincang santai mengenang Perjuangan saa melawan rezim Orda baru usai peringatan peristiwa Sabtu kelabu 27 Juli 1996 di kantor DPC PDIP setempat, kemarin malam. 


Sementara itu, Ketua DPC PDIP Mataram, Made Slamet mengatakan peringatan 27 Juli 1996 sengaja digelar. Tujuannya untuk  memperkuat kesadaran sejarah pada generasi sekarang bahwa PDI Perjuangan di bawah kepemimpinan  Megawati Soekarnoputri lahir dan digembleng oleh perjalanan sejarah yang tidak mudah. 


"Ibu Megawati menjalani perjuangan yang penuh liku dan terjal. Betapa kesabaran revolusioner benar-benar menjadi ciri sikap beliau yang mewujud dalam keyakinan politik yang kuat terhadap cita-cita besar Indonesia Raya, meskipun begitu banyak pula tantangan yang menghadang," jelas Made. 


Sementara itu, Wakil Ketua DPD PDIP NTB Hakam Ali Niazi, mengatakan sudah seharusnya generasi sekarang tergerak hati untuk mengenang dan menghormati para korban kerusuhan  dan pejuang PDIP. Menurut dia, peristiwa Kudatuli menjadi penanda di mulainya rezim reformasi. Karena itu, ia berharap agar kalangan muda. Utamanya, mahasiswa bisa melek dalam politik.


"Sebagai bangsa beradab, kita generasi penerus wajib mengenang dan menghormati para korban Kudatuli. Kita kirim doa untuk para korban dan pejuang PDIP. Kita ini enggak boleh apatis dengan politik. Ini karena politik yang bisa menjadi alat untuk mengatur pemerintahan dan kebijakan dalam rangka menyejahterakan masyarakat," tandasnya. 



*Ajang Konsolidasi 



FOTO. Mantan Ketua Ombudsman NTB, Adhar Hakim (kiri) yang juga jurnalis senior NTB dan  akademisi Fakultas Hukum Unram, Widodo Dwi Putro saat menjadi narasumber mengungkapkan kesaksianya pada peristiwa Kudatuli. 




Terpisah salah satu tokoh Jurnalis  NTB Adhar Hakim mengatakan, bahwa peristiwa Kudatuli atau dikenal Sabtu Kelabu, harus menjadi pembelajaran bagi para kader PDIP di wilayah NTB untuk konsisten bersama rakyat. 


Sebab, PDIP dilahirkan sebagai partai yang memokuskan arah gerakannya pada wong cilik. "Jadi, semangat marhaen sebagai garis perjuangan partai enggak mengenal jika kadernya bergaya hedon. Ini karena ajaran marhaen adalah bersama mereka yang tertindas dan berada dibawah garis kemiskinan," kata Adhar. 


Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB itu,  mengatakan bahwa kegiatan diskusi peringatan peristiwa Sabtu kelabu 27 Juli 1996 atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Kudatuli, harus juga menjadi juga momentum untuk melakukan konsolidasi pada segenap jajaran partai mulai tingkat struktural DPC, PAC  hingga anak ranting. 


Sebab, belum banyak kalangan milenenial atau genZ di Provinsi NTB  mengenal tentang peristiwa berdarah tersebut.  


"Maka kegiatan positif untuk mengobarkan semangat  dan api perjuangan partai  harus terus disuarakan. Di situ, sikap kritis, berbicara dengan data dan fakta dalam rangka terus mengawal kebijakan secara konsisten harus berani kader PDIP ungkapkan," tegas Adhar. 


"Bila perlu forum-forum diskusi ilmiah tentang perjuangan kader PDIP. Utamanya Bung Karno dan Bu Mega harus terus diperbanyak di NTB. Tujuannya, adalah era disrupsi yang semua serba teknologi dan media sosial, informasi menyangkut berita hoaks terhadap PDIP bisa diluruskan," sambung Adhar. 


Ia menambahkan sebagai jurnalis yang hidup saat era rezim orde baru yang mengetahui dengan jelas adanya setiap tindakan intimidasi pada siapapun lawan politiknya. Utamanya kader PDI Pro Megawati di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Provinsi NTB.


 Tentunya, pelajaran Kudatuli harus menjadi spirit bahwa PDIP dilahirkan sebagai partai yang siap bertahan dalam kondisi apapun. 


"Jadi sikap gotong royong yang menjadi ciri khas PDIP harus terus dipertahankan. Bila perlu lebih ditingkatkan," tandas Adhar Hakim.



*Perbanyak Forum Diskusi dan Seminar 


FOTO. Para narasumber dan para pejuang partai yang hadir pada peringatan Kudatuli DPC PDIP Kota Mataram




Senada Adhar. Akademisi Fakultas Hukum Unram, Widodo Dwi Putro juga mengenang bagaimana ia yang kala itu menjadi aktifis FKMM melakukan aksi unjuk rasa menentang rezim kala itu, di simpang empat Soesbandoro, Gomong Kota Mataram.


Di mana, dalam aksi menolak kedatangan Presiden Soeharto di lokasi Penas di Gerung. Kini komplek kantor Bupati Lobar itu, aparat keamanan menggunakan senjata Laras panjang yang membuat mahasiswa para peserta aksi banyak yang kesetrum hingga pingsan.


Bahkan, ada yang ditangkap. Utamanya, mereka adalah para mahasiswa baru. 


"Setelah beberapa hari kita melakukan aksi mogok makan dengan bertenda di depan kampus antara Fakultas Pertanian dan Peternakan Unram. Ini kita lakukan agar kawan-kawan yang ditahan dibebaskan. Alhamdulillah negoisasi bisa kita lakukan, tapi syaratnya barter yang ditahan di sel. Saya mengiyakan dan disitu beberapa mahasiswa dikeluarkan. Dan saya yang menjadi penanggung jawab aksi, akhirnya masuk untuk menggantikan mereka di dalam sel penjara," ungkap Doktor Widodo. 


Ia memastikan,kendati dirinya sudah bolak balik menghuni sel tahanan untuk menentang rezim kala itu. Namun Widodo merasa tidak kapok. Bahkan, aksi berlanjut di beberapa daerah lainnya di Provinsi NTB. 


"Dan terakhir, kami ikut aksi solidaritas di Jakarta. Bahkan, itu lebih nyata kekerasan yang kami peroleh bersama para mahasiswa lainnya," ucap Widodo. 


Menurut dia, sejarah panjang perjuangan melawan rezim yang anti kritik dan melakukan pembungkaman dilakukan tidak lain agar nikmatnya alam demokrasi dan reformasi bisa diraih bebas seperti saat ini. 


"Jadi, memang sejarah kelam itu harus terus diceritakan jika ingin PDIP itu besar. Bila perlu itu dibuatkan seminar-seminar. Dengan begitu, rakyat bisa dicerdaskan. Saya punya pengalaman saat mengadvokasi kasus tanah masyarakat di Jakarta melawan para cukong dan tuan tanah besar kala itu, yakni dulu itu di daerah itu, adalah basis PDIP tapi karena mereka melupakan sejarah perjuangan partainya. Akhirnya, basis suara itu drop saat pemilu. Dan mereka (petinggi partai) mulai tersadar, karena melupakan jasa pahlawannya," papar Widodo. 


"Saya harapkan dimulai dari DPC PDIP Kota Mataram, semangat untuk membedah perjuangan partai bisa terus disuarakan. Bila perlu sampai kelompok paling bawah. Dengan begitu, para generasi muda yang sudah kadung demen gadget seperti kata Mas Adhar, bisa kita urai untuk mereka tetap mengenang jasa para pahlawannya," sambung dia. (R/L..).


TerPopuler