AICIS dan Resonansi Hukum Islam Era Digital -->

AICIS dan Resonansi Hukum Islam Era Digital

Rabu, 03 Mei 2023, Rabu, Mei 03, 2023

 

Oleh. Prof H. Masnun Tahir

Rektor UIN Mataram

.
FOTO. Rektor UIN Mataram Prof TGH. Masnun Tahir saat bersama Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. 









AICIS tahun ini digelar lebih awal. Tidak seperti biasanya digelar pada akhir tahun seperti di UIN Mataram pada November 2022 lalu. Kali ini AICIS mengambil tempat di UIN Sunan Ampel Surabaya mulai tanggal 2-5 April 2023. 


Tagline utama AICIS 2023 ini mengangkat isu super penting yaitu “Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace”. Ajang silaturrahim keilmuan Islam tahunan bertaraf internasional ini menghadirkan para akademisi, kyai dan pemerhati studi keislaman level dunia yang digagas dan senantiasa diselenggarakan oleh kementerian Agama RI. 


Rekontekstualisasi fiqh peradaban dunia ini dilakukan sebagai upaya menghasilkan rumusan agar praktik keberislaman terus relevan dengan kebutuhan global, keharmonisan, kesejahteraan dan transformasi kehidupan manusia di era digital saat ini.




*Normativitas Hukum Islam



Dalam dada setiap muslim terpatri sebuah keyakinan bahwa Islam adalah agama yang dapat merespon dan menjawab segala tantangan zaman. Oleh karena itu, hukum Islam dalam konteks ini dipahami akan selalu sesuai untuk segala konteks ruang dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan). 


Dalam rangka mewujudkan prinsip itulah, maka menjadi tugas abadi umat Islam untuk selalu mendialogkan dua kutub, nass yang bersifat ilahi namun terbatas dari segi jumlah di satu sisi dengan ‘urf (peradaban, sejarah, atau masyarakat) yang bersifat wadh‘i (manusiawi, "sekuler") tetapi selalu berkembang, di sisi yang lain. Hal ini tentu saja dilakukan mengingat tujuan Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan dan menjamin kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat (li masalih al-‘ibad) dengan jalan menerapkan maqashid asy-syariah.


Adanya dialektika itulah yang kemudian membuktikan bahwa Islam sebagai rahmat li al-‘alamin. Dalam peradaban pemikiran hukum Islam, hasil dialektika rasional antara nilai-nilai syari'ah ilahiyah yang terkandung dalam nass -Al-Qur'an dan as-Sunnah- dengan realitas yang dihadapi oleh masyarakat disebut dengan fiqh dalam artinya yang genuine. 


Fiqh sebagai hasil interpretasi atau pemahaman terhadap nilai-nilai universal Islam yang terkandung dalam nass Al-Qur'an dan Sunnah adalah produk dialektika itu dan lebih merupakan upaya untuk menunjukkan kedinamisan hukum Islam dalam mencapai rahmat bagi semesta. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemikiran apapun yang didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi--sepanjang menggunakan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan--adalah sebuah interpretasi, baik yang literal maupun yang liberal.




FOTO. Rektor UIN Mataram, Prof TGH Masnun Tahir bersama para dekan dan pejabat tinggi UIN setempat saat menghadiri pertemuan AICIS 2023. 



*Fleksibilitas Hukum Islam


Sebagai teori dan metode, maqashid Syariah sebenarnya terbukti sangat ampuh sebagai media dialog abadi hukum Islam dan perubahan.  An-nusus mutahaddidah wa al-waqa’i’ mutajaddidah adalah konsep awal kesadaran untuk tugas mulia mendialogkan kutub nass yang terbatas dari segi jumlah, dan di sisi lain perkembangan masyarakat senantiasa dinamis. 


Perubahan adalah sunnatullah. Hukum alam semesta yang ditetapkan Allah swt. Cukuplah bagi manusia sebagai kreasi Tuhan yang paling mulia dengan segala perangkat akal, budi dan rasa menjadikan Al-Qur’an dan hadits Nabi-Nya sebagai pegangan. 


Dengan demikian, fleskibilitas hukum Islam sebenarnya adalah juga hal niscaya. Fakta tumbuh berkembangnya fatwa dan tulisan para ulama mashur dan terkenal hingga pendapat yang sayup-sayup terdengar dan hanya ditemukan pada ulasan kutipan tulisan merupakan usaha dinamis dialog itu. 


Hukum Islam senantiasa bergerak dari wajib, halal, boleh, makruh hingga haram adalah tahapan terminal temuan hukum. Hal utama dari itu tentu ada faktor sebab, alasan, hikmah bahkan illat yang berkontribusi besar dalam menentukan dimana titik rem kesimpulan hukum dalam Islam. 


Yudian Wahyudi mencatat, bahwa Maqashid asy-Syari’ah secara garis besar dimaknai sebagai tujuan-tujuan syariat Islam. Upaya menemukenali dan mencapai tujuan syariat di setiap kepingan masa inilah wujud nyata fleksibiltas hukum Islam. 


Meski harus diakui para ulama klasik seperti Imam Juwaini, Imam Ghazali dan Imam Syaribi sering menyingggung hal yang terkait dengan maqashid asy-syariah, namun umumnya mereka tidak memberikan definisi maqashid asy-syariah dengan lengkap. Imam Ghazali misalnya, dalam kitab-nya Al-Mustashfa, hanya menyebut ada lima maqashid asy-syariah, yaitu memlihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. 


Tidak ada satupun definisi tegas tentang maqashid asy-syariah. Imam Syatibi, sebagaimana dikomentari oleh Raisuni, juga tidak secara tegas mendefinisikan maqashid asy-syariah, meski sangat mendukungnya, disebabkan karena sudah dianggap sangat jelas. Dengan demikian, definisi maqashid asy-syariah hanya akan ditemukan pada karya ulama modern. 


Dalam literatur hukum Islam, maqâshid, sebagaimana pendapat Al-Rasyuni, diterjemahkan dengan berbagai istilah, yakni maqâshid al-shâri', maqâshid al-sharî'ah, dan al-maqâshid al-shar'iyah. 


Meskipun demikian, pada intinya semua bentuk ungkapan itu mengandung makna yang sama yakni tujuan ditetapkannya hukum Islam. 


Para ahli hukum Islam memaknai maqâshid al-sharî'ah sebagai esensi ditetapkannya hukum Islam. 'Alâl al-Fâsî, seperti dikutip al-Raysûnî, mengatakan “Yang dimaksud dengan maqâshid al-syarî'ah adalah tujuan daripada syarî'ah dan rahasia-rahasia yang telah ditetapkan oleh al-shâri' (Tuhan) dalam setiap ketentuan hukum-hukum-Nya.”


Sebagai doktrin maupun metode maqâshid al-sharî'ah bermaksud menciptakan, mencapai, menjamin dan melestarikan kemaslahatan sepanjang hayat dan menolak kerusakan bagi umat manusia sepanjang kehidupan, khususnya umat Islam. Untuk itu dicanangkanlah tiga skala prioritas yang berbeda tetapi saling melengkapi: al-dharuriyyat, al-hajiyyat dan al-tahsiniyyat.


Maqasid Al-dharuriyyat (tujuan-tujuan primer) didefinisikan sebagai tujuan yang harus ada, bersifat niscaya, yang tanpa keberadaannya akan berakibat menghancurkan kehidupan secara total. 


Di sini, ada lima (5) kepentingan yang wajib dilindungi: agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Untuk menyelamatkan agama (hifz al-Din), Islam mewajibkan ibadah sekaligus melarang hal-hal yang merusaknya. Termasuk dalam kategori ini adalah untuk menyelamatkan jiwa (hifz an-Nafs) Islam mewajibkan umat manusia untuk makan tetapi secara tidak berlebihan, demi mempertahankan hidup. 


Untuk menyelamatkan akal (hifz al-‘Aql), Islam mewajibkan antara lain pendidikan seumur hidup sekaligus melarang hal-hal yang merusak akal seperti minuman keras. Untuk menyelematkan keturunan (Hifz al-Nasb), Islam mengatur misalnya pernikahan dan melarang perzinahan. 


Untuk menyelamatkan harta (hifz al-Mal), Islam mensyari’atkan misalnya hukum-hukum mu’amalah (termasuk wakaf) sekaligus melarang langkah-langkah yang akan merusaknya seperti pencurian, perampokan dan korupsi.  


Perlu ditambahkan di sini bahwa ketentuan-ketentuan ini saling terkait. Upaya melindungi agama berarti pula upaya melindungi jiwa, akal, harta dan keturunan. Begitu seterusnya. Dengan demikian dapat dilihat disini bahwa Islam mengharuskan memakan makanan yang halal dalam rangka menjaga ajaran agama (hifz al-Din) sekaligus menjaga jiwa (hifz an-Nafs) yang sehat.


Selanjutnya, Maqasid Al-Hajiyyat (tujuan-tujuan sekunder) didefinisikan sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia untuk mempermudah mencapai kepentingan-kepentingan yang termasuk dalam kategori al-dharuriyyat tadi. 


Sebaliknya, menyingkirkan faktor-faktor yang mempersulit usaha perwujudan maqasid ad-dharuriyyat. Karena fungsinya yang mendukung dan melengkapi tujuan primer, maka kehadiran tujuan sekunder ini dibutuhkan (sebagai terjemahan harfiah dari kata hajiyyat), bukan niscaya (sebagai terjemahan langsung kata dharuriyyat).


 Artinya, jika hal-hal hajiyyat tidak ada maka kehidupan manusia tidak akan hancur, tetapi akan terjadi berbagai kekurang-sempurnaan, bahkan kesulitan.


Maqasid al-Tahsiniyyat (tujuan-tujuan tertier) didefinisikan sebagai sesuatu yang kehadirannya bukan niscaya maupun dibutuhkan, tetapi bersifat akan memperindah (sebagai terjemahan harfiah dari kata tahsiniyyat) proses perwujudan kepentingan dharuriyyat dan hajiyyat. 


Sebaliknya, ketidakhadirannya tidak akan menghancurkan maupun mempersulit kehidupan, tetapi mengurangi rasa keindahan dan etika. Skala prioritas terakhir ini merupakan ruang gerak para “seniman”. 


Di sini pilihan pribadi sangat dihormati, jadi bersifat relatif dan lokal, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan nass.




FOTO. Rektor UIN Mataram bersama para delegasi dari daerah lainnya di Indonesia yang mengikuti pertemuan AICIS 2023. 



*Digital atau Ditinggal


Dalam era transformasi digital, teknologi telah berpengaruh bahkan mengubah banyak aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal agama dan hukum Islam. Sebagai agama yang hidup dan dinamis, Islam harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan teknologi, namun tetap konsisten dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai agama.


Dalam konteks fiqh (hukum Islam), ada kebutuhan untuk mengaktualisasi dan memperbarui fiqh agar tetap relevan dengan perkembangan zaman dan teknologi. Reaktualisasi fiqh adalah proses memperbarui, dan ini tentu bukan barang haram. Usaha serius untuk itu selalu dinilai positif dalam hokum Islam. Jika benar dapat dua poin. 


Jika pun salah diberikan apresiasi satu poin atas jerih payah memeras pikiran demi kemaslahatan ummat yang selalu disenandungkan syari’. Memperbarui fiqh tiada lain dihajatkan untuk memastikan relevansinya dengan tantangan dan perubahan yang dihadapi oleh masyarakat Muslim modern, kontemporer hingga digital kekinian.


Transformasi digital menimbulkan tantangan dan perubahan yang signifikan dalam hukum Islam, seperti dalam hal perdagangan elektronik, keamanan data pribadi, dan hak cipta digital. 


Oleh karena itu, reaktualisasi fiqh dalam era transformasi digital perlu dilakukan agar hukum Islam dapat memberikan panduan yang jelas dan relevan bagi masyarakat Muslim dalam menggunakan teknologi digital dan menghadapi masalah yang terkait dengan teknologi.


Beberapa isu yang memerlukan reaktualisasi fiqh dalam era transformasi digital misalnya transaksi perdagangan elektronik. Dalam era transformasi digital, perdagangan elektronik semakin berkembang dan menjadi semakin umum. Namun, beberapa isu seperti keamanan transaksi, keabsahan kontrak elektronik, dan masalah pembayaran elektronik perlu diatasi dengan panduan yang jelas dari perspektif hukum Islam.


Hal yang tidak kalah pentingnya juga, privasi dan keamanan data pribadi. Dalam era transformasi digital, data pribadi semakin mudah diakses dan digunakan oleh perusahaan atau individu lain. 


Oleh karena itu, diperlukan panduan tentang privasi dan keamanan data pribadi dari perspektif hukum Islam. Demikian pula halnya dengan perkembangan teknologi medis. Perkembangan teknologi medis, seperti genetika, stempel sel, dan transplantasi organ, telah menimbulkan isu-isu baru dalam hukum Islam yang perlu diatasi dengan panduan yang relevan. 


Selain itu, Hak cipta digital juga merupakan persoalan mendesak yang perlu diantisipasi. Hak cipta digital telah menjadi isu yang semakin penting dalam era transformasi digital, di mana karya-karya dapat dengan mudah disalin dan didistribusikan secara digital. Oleh karena itu, panduan hukum Islam diperlukan untuk menangani masalah hak cipta digital dan pembajakan dalam konteks teknologi digital.


Era digital nyata dan tidak bias dilawan. Ummat Islam tidak boleh absen dan harus senantiasa hadir untuk menjawab persoalan ummat di era digital ini. Untuk itu, dalam reaktualisasi fiqh di era transformasi digital, penting untuk melibatkan para ulama, pakar hukum, dan ahli teknologi dalam prosesnya. 


Dalam hal ini, sebuah pendekatan holistik dan interdisipliner diperlukan untuk memastikan panduan yang relevan dan bermanfaat bagi masyarakat Muslim di era digital ini. Jika ini tidak dilakukan, maka pilihannya hanya dua. Digital atau ditinggal. 


Untuk itulah, AICIS tahun 2023 yang mengambil tema “Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace” adalah ikhtiar untuk menjawab semua persoalan ummat itu.  Semoga berjalan lancar dan menghasilkan karya pikir spektakuler. (**)

TerPopuler